Rabu, 28 Maret 2012

Rumput Hitam Tegal Panjang, 24 - 26 Juni 2011

“keindahan kabut sore itupun lenyap saat melihat rumput menghitam, kering dan gosong”

Tegal Panjang
Perjalanan

Juni, beberapa hari setelah saya menambah jumlah lilin yang menyala sekaligus bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT, saya berhasil mengajak Kang Ndar sesepuh dari Bogor dengan kemampuan bahasa Sunda yang sudah mencapai tingkat “mahir” yang juga mengajak teman – teman lainnya seperti om Insinyur atau yang katanya mempunyai nama asli Agus Muschoni, kemudian ada om Fredric yang selanjutnya biasa kami panggil dengan sebutan om Eric, ada lagi mas Rangga, dan satu – satunya wanita yang ikut dalam rombongan ini adalah Rani, perempuan yang sedang galau karena si Carl bule Jerman lagi sibuk ujian. Terminal Kp. Rambutan menjadi saksi awal pertemuan kami berlima, kecuali Rani yang sebelumnya pernah menjajaki Papandayan bersama. Seperti biasa saya diam tak banyak bicara, mungkin nanti, saya sangat pemalu.

Hari sudah semakin malam, bis menuju terminal Leuwipanjang telah melaju cepat dan tampa terasa di tengah rasa kantuk yang teramat sangat kami sampai. Udara dingin langsung menyusup segera digiring oleh Kang Ndar menuju sisi lain dari terminal, kami terhenti di depan minimarket. Memulai perbincangan ringan dengan masalah politik di Papua yang dibawakan langsung oleh om Eric yang seketika menjadi pembicaraan hangat sambil menunggu Kang Ndar mendapatkan inspirasi dengan apa dan bagaimana caranya kami sampai di Cibutarua.

Menjelang jam 4 pagi, Kang Ndar mendapatkan mobil carteran semacam mini bus dengan harga yang pantas untuk mengantarkan kami ke desa Cibutarua. Perlahan mini bus yang kami tumpangi meninggalkan Leuwipanjang selanjutnya terlibat pembicaraan yang cukup hangat di dalam mini bus sampai kami tertidur pulas satu per satu.
Good Morning Malabar Tea Park
Tiba diperkebunan Malabar suasana begitu mistis, saat itu jam 6 pagi, kabut putih di sekeliling menyergap lingkungan kami yang terjebak di dalam mini bus ini, Kondisi layaknya film Rumah Dara dimana ada bangunan tua dengan hiasan kebun teh di sekelilingnya. Satu per satu kami bangun, jalur yang dilewati cukup membuat perut berguncang keras, menjerit hingga akhirnya tegang meregang dan mual. Udara begitu dingin ketika kaca mini bus tersebut dibuka.
Kebun Teh Malabar
Pemandangan mistis perlahan berubah menjadi pemandangan yang sangat memanjakan mata, kini pucuk – pucuk daun teh tersebut terlihat jelas dengan payung awan yang perlahan mengambang di awang – awang. Mini bus terus melaju bersamaan dengan sinar mentari yang mencoba menembus kabut kami tiba di depan masjid besar di desa itu jam 7.30.
Rani & Pejuang Cilik
Bergurau bersama, dikerubutin. Menarik
Sambutan hangat anak – anak desa dengan senyum ikhlas dan ramah tidak terkontaminasi polusi membuat saya pribadi senang. Sementara yang lain mencari sarapan, saya bersenda gurau dengan anak – anak desa tersebut, kebetulan lokasi masjid itu tepat di sebuah sekolahan. Mungkin saat itu jam istirahat atau gurunya belum datang, jadi mereka bebas bermain di luar kelas, saat itu seperti biasa saya selalu menanyakan tentang kondisi sekolah mereka, prestasi yang didapat, cita – cita sampai pada akhirnya kami bercanda bersama sampai saat guru mereka datang tetapi dibiarkan bersenda gurau dengan saya.

Sedang asik bermain tebak – tebakkan rombongan yang tadi sedang mencari sarapan datang, saya dan yang lainnya segera membereskan barang bawaan kembali, bersiap – siap untuk berangkat. Pamit dengan bocah – bocah lucu nan lugu itu seperti akan pergi jauh saja. Ah, 20 menit yang menyenangkan bersama mereka.
memasuki jalan setapak kebun teh Malabar
Memasuki pedesaan yang sejuk, tenang seperti tak ada tanda – tanda kehidupan saat itu kami berjalan perlahan, membelah kebun teh yang indah permai. Matahari sudah menyinari dengan terik, hingga tak berapa lama perut kami tiba di sebuah persimpangan dengan pohon rindang di sisi sebelah kanan kami, awalnya hanya ingin beristirahat tetapi kami lanjutkan untuk sarapan. Sejauh mata memandang hanya ada kebun teh dengan konturnya yang berbukit landai, sarapan dengan pemandangan yang memanjakan mata membuat ingin berlama – lama menikmatinya.
kebun teh Malabar
sarapan di bawah pohon
Diingatkan oleh Kang Ndar bahwa perjalanan masih sangat jauh, saat itu saya pun teringat peta GPS manual dari Angga yang memang jalurnya jauh sekali, jadi kami pun mengikuti apa kata sang Kang Ndar, karena hanya dia yang mengetahui jalur ini. Kembali membelah kebun teh dengan sesekali truk lewat yang membuat debu berterbangan menyesakkan dada, kami menuju perkebunan munjul (kata Kang Ndar) berhubung saya kebagian dibelakang rombongan jadi saya hanya mengikuti saja. Hal aneh terjadi ketika kebun teh sudah berubah menjadi bukaan hutan yang membuat miris, seperti peralihan fungsi hutan, kami tersasar. Kang Ndar lupa jalur, jadi kami berbalik arah dan mencari lahan teduh untuk beristirahat. Cuaca sangat panas, terik dan berdebu. Munjul – Cikoleti kami sempat tertidur karena tersasar jauh sekali dari jalur yang seharusnya.
istirahat
bukaan lahan saat salah jalur
lahan saat salah jalur
ada yang masih tidur pules, jalurnya tepat dibelakang
Puas tertidur di bawah pohon yang rindang, walau hanya satu batang pohon di kebun itu kami cukup segar untuk melanjutkan perjalanan. Masih dibelakang, saya melihat Kang Ndar sudah mulai menggunakan kemahiran bahasanya sebagai petujuk mencapai pintu hutan. Jalurnya ternyata berada di samping rumah yang terus menanjak hingga didapat rimbunan pohon yang disebut sebagai pintu hutan, tidak ada pintunya sih, hanya ada jalur masuk ke dalam hutan. Istirahat sebentar dan ada yang bermasalah dengan lambung.
menuju pintu hutan
Kami berjalan perlahan mengikuti alunan langkah Kang Ndar yang memang dia memimpin. Jalurnya cukup bervariasi kadang menanjak, kadang menurun, cukup panjang jalur yang dilalui hingga menemukan aliran sungai, kami menyebrangi sungai itu dengan sedikit melompat. Perdu tak menghalangi langkah, karena saya memakai celana panjang seperti yang diinfokan sebelumnya. Setelah melewati sungai ini jalur masih saja panjang, cemilan roti susu selalu menjadi kudapan favorit untuk mengisi perjalanan panjang yang sedikit membosankan. Kalau bukan karena cerita konyol om Insinyur yang berduet dengan Kang Ndar mungkin saya sudah mengatuk dan bukan tidak mungkin jika tertidur di jalur.
Lompatan Sungai Pertama
Istirahat
Istirahat
Rumput Menghitam
Hari sudah semakin sore, terlihat cahaya keemasan dari celah pepohonan yang menjulang tinggi. Jam 4 kami tepat di bibir padang rumput luas. Aih.. luas tapi menghitam. Semua diluar ekspektasi yang saya bayangkan. Tak ada kabut turun perlahan, tak ada rumput kuning yang tinggi bergoyang perlahan tersapu angin saat ini yang ada hanya hamparan rumput yang menghitam, kering seperti habis terbakar. Hampir disemua bagian. Menyedihkan.
Tegal Panjang
menuju padang rumput
mencari lokasi kemah
Agak menggerutu ketika sampai, mungkin karena sudah memasuki kemarau, kami terima saja. Terik sore itu, sambil mencari tempat untuk mendirikan tenda canda tawa kembali pecah kemudian hening. Dingin.
Tegal Panjang
Tegal Panjang
Tegal Panjang
Malam tak banyak dihabiskan di luar tenda, selepas makan malam kami semua masuk ke tenda masing – masing berhubung senin esok hari saya ujian jadi saya membawa ringkasan untuk dibaca. Hingga yang lain terlelap rasanya masih saya yang terbangun. Sempat ada suara – suara aneh tapi dihiraukan dan ternyata kang Ndar juga mendengar. Angin semakin berhembus kencang udara semakin dingin, agak sulit jika tidur berdua dengan perempuan kalau situasinya seperti ini. Menggigil.
Tegal Panjang
Rangga, Sumber Air
Matahari pagi, Tegal Panjang
Pagi hari masih saja angin berhembus pelan, menemani Rangga mengambil air di sungai yang lebih tepat disebut cerukan yang mengalir, dingin. Langit cerah, biru, tak ada awan sedikitpun. Agak sulit mencari pembiasan cahaya jika suasananya seperti ini terus. Pagi inipun kami habiskan untuk membuat sarapan dan bersiap menjalani jalur selanjutnya. Kita akan membelah padang rumput yang menghitam menuju hutan lebat di sisi Papandayan. Hal terbodoh kali ini adalah menunggu matahari terbit, karena ternyata matahari terbit di balik bukit. Hufh.

Menikmati Kawah Papandayan

Menjelang jam 10 kami telah siap. Masih dipimpin Kang Ndar kami melanjutkan perjalanan melewati jalur – jalur sempit ditambah dengan banyaknya pohon tumbang cukup untuk menghilangkan rasa kantuk yang mendera. Saat istirahatpun tak ada makan siang kecuali cemilan berupa roti. Air pun menipis hanya mengandalkan sungai kecil berair keruh yang diperas dengan syal yang masih bersih. Jalan panjang yang membentang masih menanti, tujuan selanjutnya adalah lahan pandang menuju kawah Papandayan.
Meninggalkan Tegal Panjang
Meninggalkan Tegal Panjang, Kembali ke Hutan
Tegal Panjang
Menjelang jam 2 siang pepohonan sudah semakin terbuka, masih rapat tetapi rendah dan tak sedikit ranting dan dahan yang tersangkut di keril, kami tiba di lahan pandang Guberhut. Istirat cukup lama banyak keriangan ditengah kelelahan. Menikmati indahnya kawah Papandayan dari sini terlihat berbeda, sangat jelas dan menarik. Berhubung hari semakin sore kami membatalkan mengunjungi Pondok Saladah, niat ke puncak juga harus diurungkan.
Istirahat
Jun, Rani, Insinyur, Ndar, Rangga, Eric
Kawah Papandayan
The Team
Kembali melewati jalur tanah merah yang saat itu kering dan sangat berdebu, kembali melewati kawah Papandayan yang entah kenapa saat itu sepertinya kawah semakin lebar dan semakin banyak asap yang keluar serta gelembung air panas yang bergejolak. Angin berhembus sepoi membantu kami bernapas lebih lama. Mempercepat langkah untuk menghindari sore tiba lebih cepat kami tiba di pelataran parkir. Sepi.
Kawah Papandayan
Kawah Papandayan
Cover
Bebatuan Papandayan
Hari semakin sore dan gelap, angin sangat tidak bersahabat. Kencang. Saya berlindung dibalik tembok, Rani masuk ke dalam warung kenalan Kang Ndar yang seharusnya beliau sudah menginjakkan kaki di rumah tapi demi segerombolang anak ceria datang beliau rela menutup warungnya sampai kami dijemput angkutan.

Saat pandangan mata seluruhnya sudah menghitam kelam, kami dijemput dan langsung menuju terminal Guntur. Ketika sampai segera berpisan dengan Kang Ndar yang pulang ke Bogor sehingga menunggu bis lebih malam, dan yang lainnya menuju Jakarta. Tengah malam kami sampai di kota metropolitan ini. Tegal Panjang, Afrika di tanah Garut.


Terimakasih buat kebaikan hati Kang Ndar yang sebenarnya penasaran sama saya *katanya beliau sendiri* yang mau mengantar saya. Rani, Om Insinyur, Rangga dan Om Eric yang mau bersuka cita di padang rumput.
Rute : Kp. Rambutan - Leuwipanjang - Cibutarua - Tegal Panjang - Papandayan - Garut - Jakarta
Carter Mobil Leuwipanjang - Cibutarua 300.000* nego

Selasa, 06 Maret 2012

Berdua [Lagi] di Sumbing, 31 Mei - 1 Juni 2011


“Semburat orange yang tak ragu untuk bercampur dengan biru, kuning, merah membentuk kiasan warna lain yang membuat langit semakin semarak membentuk lukisan alam yang benar – benar indah”

Gunung Sumbing dari Puncak Sindoro

Ketenangan Lembah Sumbing

Kabut turun perlahan menutupi puncak gunung yang seakan kembar membawa hawa dingin nan menusuk. Kendaraan tak banyak lalu lalang hanya di kejauhan di lapangan sederhana banyak warga berkumpul menyaksikan pertandingan sepak bola antar kampung. Teriakan demi teriakan seakan terbawa angin sore itu, tak terdengar bising walaupun saya yakin mereka berteriak sekuat tenaga mendukung tim kesayangannya. Lembah Sindoro Sumbing begitu mempesona, tenang dan nyaman dengan segala kenikmatan makanan dan keramahan penduduknya.

Sore ini saya dan Nanung akan melanjutkan perjalanan ke Desa Garung dimana basecamp Gunung Sumbing berada tak jauh dari Desa Kledung saat ini saya berada. Dengan menumpang minibus yang hanya bertarif Rp. 1.000,- hanya 5 menit dari gapura Desa Kledung kami telah sampai di gapura Desa Garung. Masih dengan kabut sebatas pandangan mata kami berjalan menuju basecamp Gunung Sumbing.
Menuju Basecamp

Bangunan bercat merah jambu dengan beraneka ragam tempelan di jendela dan menempati lahan yang cukup luas kami masuk dengan ragu. Sepi tak ada orang. Hanya kami berdua saat itu, sampai datang penghuni rumah yang ramah melakukan percakapan singkat dengan kami. Setelah itu kami kembali beristirahat sambil menengok bangunan luas ini. Basecamp yang nyaman dengan sederhananya fasilitas tapi cukup baik.
Basecamp Sumbing

Semakin malam kabut semakin pekat, sebelum semakin dingin kami turun sejenak untuk membeli logistik yang cukup berlebih, mengingat jalur yang ditempuh tidak lagi santai seperti di Sindoro kemarin. Setelah itu kembali dan di dalam basecamp pun saya sibuk mencari info tentang estimasi waktu yang dibutuhkan untuk menyusuri jalur pada Singgih dan Nesa serta membuka blog dan juga catper di OANC agar referensi yang didapat benar – benar akurat, sedangkan Nanung asik dengan BBnya. Semakin malam, semakin sepi, hanya berdua di ruangan seluas lapangan bulu tangkis ini di tengah hembusan angin yang menyelinap masuk lewat celah – celah kayu lapuk kami terlelap tanpa sadar.

Sumbing, Sebuah Perjalanan

Secercah sinar biru menyembul dibalik pintu. Kami bangun terlalu siang ditengah udara dingin yang sedikit menusuk. Segera memesan sarapan sambil kembali mengemas ulang barang bawaan. Sekitar jam 9 pagi kami mulai meninggalkan basecamp dengan cuaca yang panas disertai langit biru dengan gerombolan awan yang berarakan mengikuti arah angin. Kami direkomendasikan untuk melewati jalur baru, jadi kalau dari arah basecamp sekitar 10 menit perjalanan kita akan bertemu dengan pertigaan dimana ada basecamp stickpala. Setelah itu kita mengarah ke kanan lalu ikuti jalur sampai bertemu sungai dan hutan bambu yang cukup luas. Kemudian berbelok ke kiri dan ikuti jalur kembali sampai bertemu dengan jalur tanah merah berundak membentuk tangga yang licin dengan perkebunan penduduk mengelilingi. Indah dan melelahkan.
Kanan Baru, Kiri Lama
Selama 1 jam 20 menit berjalan, sampailah kami di batas hutan. Dimana tepat terdapat banyak lichen yang menempel di batang – batang pohon pinus yang tinggi menjulang. Beristirahat sebentar sambil kembali membaca peta serta makan sedikit cemilan. Menghela nafas.

Setelah Kebun Bambu, Bertemu Tanjakan
Tanjakan Tanah Merah
Batas Hutan

Jalur landai mengawali perjalanan kami memasuki hutan, tak lama berselang kami menemukan sungai yang airnya enggan untuk mengalir, berbau amis dan berminyak. Sekitar 20 menit perjalanan santai kami tiba di Pos 1 – Kedung. Karena baru saja beristirahat cukup lama di batas hutan kami hanya mengambil gambar kemudian melanjutkan perjalanan. Masih dengan tanah merah licin dan Nanung masih saja di depan sana, saya juga masih santai di belakang mengikuti Nanung. Selama 22 menit meniti jalan setapak kami tiba di Pos 2 – Gatakan berupa tanah lapang yang tidak luas kami istirahat sebentar.

Sungai Kecil
Pos 1
Lepas dari Gatakan jalur mulai menyempit dan berupa tanah merah yang licin. Entah karena baru tersapu air hujan atau karena lembab. Saat itu kabut sudah mulai turun perlahan. Jika pagi tadi langit biru terlihat jelas, kali ini putihnya kabut mengelilingi kami, hanya hijau daun dan merah tanah yang berwarna selain baju yang kami pakai.

Istirahat
Di tengah jalan sebelum tiba di Kredengan kami sempat beristirahat. Jalur cukup panjang untuk mencapai Kredengan, membutuhkan waktu sekitar 60 menit dari Gatakan untuk sampai di Kredengan dengan jalan santai. Mungkin waktu untuk setiap orang berbeda – beda karena jalur tidak terlalu terjal.

Tak jauh dari Kredengan sekitar 10 menit perjalanan kami sampai di pohon yang mempunyai diameter sangat besar ditambah adanya nisan di tanah lapang itu. Sedikit menyeramkan sih, jadi kami hanya beristirahat sejenak sebelum melahap tanjakan – tanjakan terjal di depan sana.
Kredengan
Pohon Besar
Setelah pohon besar yang menantang ternyata jalur selanjutnya yang kami lalui benar – benar menantang, tanjakan terus menerus berupa tanah merah yang rumputnya agak menghitam mungkin karena kekeringan atau semacam api dalam sekam? Tanjakan yang minim sekali bonus membuat kami kelelahan dan merasakan lapar yang amat sangat. Selama 64 menit dari pohon besar tadi kami harus terus merayap, menggapai perlahan tanjakan tanah merah ini perlahan, selangkah demi selangkah untuk tiba di jalur pertemuan antara jalur baru dan jalur lama dan tepat di pos selanjutnya Pestan.
Jalur Menuju Pestan
Jalur Menuju Pestan, Nanunk di Kejauhan
Sebuah tanah lapang yang besar dengan dataran agak miring dan dibeberapa bagian datar rupanya menjadi tempat untuk sebagian pendaki menghabiskan malam sebelum akhirnya menuju puncak esok hari. Kami istirahat sebentar, meluruskan kaki dan membuka sedikit cemilan, sudah lapar tapi tujuan kami Watu Kotak.
Kelelahan Amat Sangat
Pestan, Pertemuan Lama & Baru
Kabut putih semakin pekat, namun sinar mentari seakan memaksa untuk tetap menyinari bumi ini, terik, panas. Rintik air perlahan turun, sebelum semua berubah menjadi rintik hujan yang deras kami menyegerakan untuk segera melanjutkan perjalanan. Masih kami berdua di jalur ini, tidak ada yang lain. Sepanjang jalur yang hampir mirip dengan jalur menuju Pestan kami kembali melangkahkan kaki kecil perlahan namun pasti hingga sampai di jalur yang banyak batu berundak yang besar – besar, selama 45 menit karena kelelahan kami sampai di Pasar Watu. Pasar Watu ternyata memang banyak batunya, sebesar badan orang dewasa maupun yang sebesar kerikil pun ada. Takjub. 
Pasar Watu
Pasar Watu


Melipir Batu
Watu Kotak di Kejauhan
Dingin semakin merasuk, padahal hari masih siang kami melanjutkan perjalanan, menyusuri arah kiri dan merambat tebing batu yang seharusnya bisa melewati jalur di sebelah kirinya lagi jika tidak mau merambat tebing batu, kami kembali disuguhi tanjakan, namun tidak terlalu terjal. Hanya saja sudah semakin sering kami beristirahat, mungkin karena tubuh mulai merengek minta diberi asupan gizi yang baik. Dari kejauhan watu kotak sudah terlihat, namun entah kenapa seperti sulit dijangkau. Kaki kecil kami terus menapaki jalur yang sempit, terbuka dan panas walaupun berkabut. Hingga selama 30 menit perjalanan akhirnya kami sampai di Watu Kotak. Buka tenda, kemudian makan siang. Istirahat hingga sore nanti berharap akan terlihat sebuah lukisan alam yang menakjubkan.

Lukisan Alam

Angin berhembus sangat kencang, awan kelabu bearakan hilir mudik seakan tak memberikan kesempatan mentari untuk bersinar sebelum menutup hari. Setelah istirahat cukup dan sempat tidur siang saya dan Nanung ke luar tenda, niatnya untuk menikmati matahari tenggelam namun nampaknya langit berkata lain. Sampai saat kekecewaan di raut wajah kami seakan menghilang melihat semburat orange di kejauhan tepat di hadapan kami dengan latar Gunung Sindoro yang kemarin kami berada di puncak itu. Semburat orange yang membuat kami terkagum atas nikmat yang Allah berikan pada kami, pada setiap perjalanan yang saya lewati. Semburat orange yang tak ragu untuk bercampur dengan biru, kuning, merah membentuk kiasan warna lain yang membuat langit semakin semarak membentuk lukisan alam yang benar – benar indah. Luar biasa.
Kelabu
Mulai Menampakkan Keindahan
Hingga matahari benar – benar tak nampak dan semburat orange yang perlahan menghitam kami tetap menatap kagum lukisan yang terbentang hingga angin dingin berhembus kencang menandakan malam akan segera tiba, kembali ke tenda dan mempersiapkan makan malam. Selanjutnya istirahat hingga esok menjelang. Masih saja berdua, sunyi dalam damai seperti kemarin saat di Sindoro.

Lukisan Alam
Ketika malam angin ribut sepertinya menerjang kawasan Watu Kotak hanya suara flysheet tenda yang tak bisa ditutupi, mengerikan tapi seru. Alarm pagi ini membangunkan kami berdua segera mempersiapkan perjalanan menuju puncak yang kabarnya sebentar lagi kami gapai. Bersiap – siap, berdoa dan kembali menapakkan langkah kecil kami di jalur yang seperti tanah lempung berwarna putih.

Melihat Sindoro dari Puncak Sumbing

Gunung Sindoro dari Sumbing
Kami berangkat terlalu siang, sekitar pukul 5 pagi mempersiapkan cemilan yang nantinya ternyata ga akan dimakan di puncak karena jaraknya ternyata dekat. Selama 25 menit dari yang seharusnya 15 menit waktu ngesot kami untuk mencapai puncak Sumbing. Mengagumi keindahan berbagai pucak yang terlihat dari atas termasuk “saudara kembar” Sumbing, Sindoro. Hijaunya sawah membentang, perumahan warga yang tampak seperti miniatur, kawah Sumbing yang terus mengeluarkan asap, dan terdengar suara yang memanggil – manggil entah dari mana. Karena saya tidak pakai kacamata jadi saya tidak bisa mengetahui keberadaannya, kalau kata Nanung sih ada si kawah.
Nanunk
Kedinginan dengan gaya yang ga asik banget
Kawah Sumbing
Merapi Merbabu
Sindoro dan Teman - Teman
Slamet di Kejauhan Sindoro terdekat
Tak lama kami di puncak, matahari pun enggan menampakkan wajahnya, malu dengan menutup wujudnya dengan awan kelabu seperti tameng. Dalam perjalanan turun pun tak henti kami disuguhkan pemandangan ciamik khas pegunungan yang luar biasa indah. Sesampainya di camp, kami segera mengemas barang bawaan, untuk selanjutnya turun gunung.
Turun Puncak Menuju Watu Kotak
Tenda di Watu Kotak
Menjelang Turun Gunung
Hijau
Segar
Nanung di Pasar Watu
Selama kurang lebih 2 jam kami menuruni gunung dengan berbagai pemandangan menarik kami kembali mengijakkan kaki di tengah ladang yang indah. Jauh jarak antara saya dan Nanung karena saya sudah terkendala dengan telapak kaki, tak apa yang jelas sudah semakin dekat. Menjelang dzuhur kami sampai di basecamp, mandi, membereskan perlengkapan, membeli sedikit oleh – oleh. Kami harus segera sampai terminal Wonosobo karena bis akan membawa kami menuju Jakarta jam 4 sore nanti.
Ladang Penduduk
Selama perjalanan menuju Jakarta kami terlelap dalam dinginnya bis, dalam lelah yang menyenangkan, dalam hening malam yang menemani. Kami tiba di Terminal Pulo Gadung pukul 5 pagi. Berpisah dengan Nanung dan kembali ke rumah. Perjalanan yang cukup menarik. Alhamdulillah.