"esensinya sebuah perjalanan itu
untuk kesenangan, siapapun tidak berhak mengganggu apalagi merusuh dengan
alasan apapun"
Pulau Bulat |
Muara Angke Kelebihan Pengunjung
Ayam masih tertidur dalam lelap,
ketika saya dan beberapa teman sudah terbangun. Bergegas. Jumat pagi ini akan
menjadi hari yang indah, bermain air di teluk Jakarta dan bersenang – senang.
Seperti biasa aku selalu membuat janji untuk berkumpul di Pelabuhan Muara Angke
pagi – pagi sekali. Perjalanan awal, kami akan mengunjungi Pulau Semut, namun
ketika seorang teman memberi option untuk berangkat bersama dengan tujuan pulau
yang berbeda, saya bersedia, mengingat ia sudah lama menggeluti bidang pulau
ini.
Pelabuah Muara Angke pagi ini
amat berbeda, tadi saya melihat Singgih di kejauhan, ketika sampai tepat di
pinggir dermaga Singgih sudah menghilang, hanya Weny yang sedang melambaikan
tangan untuk menandakan keberadaannya. Mulai aneh, ada apa sebenarnya. Bukan
karena banyaknya pengunjung yang memang sudah diantisipasi sebelumnya,
melainkan banyaknya petugas Perhubungan Laut yang ikut berbaur dengan para
wisatawan. Hari itu memang saat dimana libur panjang dimulai, banyak sekali
wisatawan asing yang hadir, kalau wisatawan domestik tidak usah ditanya,
jumlahnya sangat amat banyak.
Singgih ternyata sudah lebih dulu naik kapal menuju Pulau Harapan. Sedangkan saya dan rombongan hanya tertinggal beberapa menit saja, karena di kejauhan kapal yang Singgih tumpangi masih dapat terlihat mata dengan sangat jelas. Selanjutnya saya menunggu dengan sabar. Ketika jam menunjukkan pukul 7 dimana matahari sudah bersinar sangat terik saya penasaran, kapal menuju Pulau Harapan itu memang hanya satu, pagi tadi sudah berangkat, namun yang menuju Pulau Pramuka itu jumlahnya sangat banyak, tapi selalu penuh, dan yang membuat aneh lagi, kali ini penumpang dibatasi, jika sudah mencapai 150 orang kapal harus segera berangkat, itu semua ulah dari petugas Perhubungan Laut yang arogan. Penasaran kembali memuncak ketika Weni mengatakan bahwa temannya masih dalam perjalanan menujut Pelabuhan Muara Angke, awalnya saya ingin naik kapal yang menuju Pramuka karena terlalu lama menunggu, namun tak enak hati karena dari awal saya sudah menyatakan berangkat bersama dengan Weny.
Pelabuhan Muara Angke |
Pelabuhan Muara Angke, dikejauhan kapal Petigas HubLa |
Menjelang jam 8 pagi teman - teman Weny datang, perempuan semua dan seketika itu juga mata dari lelaki - lelaki yang datang melotot terbelalak kagum, mereka seperti wanita - wanita kompleks yang datang menyambangi kumpulan penyamun pasar. Reaksi yang sedikit berlebihan memang, tetapi jika melihat reaksi dari Lukman dan Mamet, seperti haus wanita. Berkenalan singkat dan kembali menunggu kapal yang akan mengangkut kami. Terdiam dalam terik matahari pagi.
Sempat terjadi adegan turun naik kapal karena ada beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab, itu membuat saya dan teman – teman sangat kelelahan dan sedikit emosi. Sungguh. Matahari semakin menunjukkan keberadaannya, terik sudah. Seharusnya saya sudah berlayar menuju pulau, namun kali ini masih terdampar di Muara Angke bersama ratusan pernumpang lainnya. Berharap datang kapal yang setidaknya menuju Pramuka. Menunggu dan menunggu.
Sempat terjadi adegan turun naik kapal karena ada beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab, itu membuat saya dan teman – teman sangat kelelahan dan sedikit emosi. Sungguh. Matahari semakin menunjukkan keberadaannya, terik sudah. Seharusnya saya sudah berlayar menuju pulau, namun kali ini masih terdampar di Muara Angke bersama ratusan pernumpang lainnya. Berharap datang kapal yang setidaknya menuju Pramuka. Menunggu dan menunggu.
Ketika jam menunjukkan tepat jam
10 pagi kapal yang ditunggu datang, namun dimana petugas Perhubungan Laut yang
dari tadi selalu menghalangi para penumpang yang ingin berlibur? Karena kapal
ini pada akhirnya memuat penumpang yang amat sangat berlebih. Kesan pertama
berjumpa dengan petugas yang sangat aneh. Sumpah aneh! Hampir semua orang yang
naik kapal yang saya tumpangi tidak ada yang bisa meluruskan kakinya, karena
mereka duduk sangat berdempetan. Saya mengambil tempat diatas, dan paling
belakang agar mendapat angin laut mencegah mual. Tak banyak aktivitas selama
perjalanan, mungkin mereka benar – benar kelelahan, sesekali bertukar cerita
dan akhirnya tertidur. Hanya tinggal segelintir orang saja yang masih bersuara
berbagi kekesalan dan cerita, saya salah satu dari orang itu.
Penuh Sesak |
Matahari tepat berada dititik
tertingginya, bayangan sudah tak nampak ketika saya dan teman – teman sampai di
Pulau Pramuka. Lapar. Sempat bertemu dengan artis idola, Fitrop als Fitri
Tropica yang ternyata satu kapal dengan kami, hanya saja dia di bawah bersama
teman – temannya. Fitrop sang wanita dengan gaya berlebihan dan itu yang
membuat sebagian dari kami sangat mengidolakannya. Terlihat lebih cantik
daripada di tv. Ramah dan bersahaja. Kami tak menghabiskan banyak waktu, setelah
berfoto dengan Fitrop, karena sama – sama mempunyai agenda lain, segera menuju
masjid besar ditengah – tengah pulau. Salin dan kembali beristirahat. Saya dan
Rani mencari makan siang untuk kemudian dimakan saat perjalanan menuju spot
snorkling.
bersama Fitrop |
Menjelang jam 1 siang, 2 kapal
datang menjemput. Singgih dan teman – temannya sudah berada di dalam kapal itu.
Tak banyak bercerita kami segera naik ke kapal. Saya berpisah dengan rombongan
Singgih dan Weny yang akan menuju Pulau Harapan, mereka bermalam di homestay. Dan
saya perlahan akan menuju Pulau Bulat, yang menyesalkan ketika sadar saya
mendapat nahkoda yang sangat tidak berpengalaman. Untuk mencari spot snorkling
saja tidak bisa menentukan dimana titik terbaik. Hanya beberapa tempat yang
sedikit mengobati kepuasan batin.
Spot snorkling yang terakhir sesaat sebelum kami menuju Pulau Bulat merupakan kumpulan dari hardcoral yang berbentuk seperti bakso disusun berjajar rapih sekali. Jelas terlihat dari atas kapal membuat para awak ingin segera mencumbunya. Tak tersisa awak kapal kecuali saya yang sudah malas untuk basah, hanya memperhatikan dari atas kapal keriangan mereka. Saat teman - teman yang lain asik bermain di sisi sebelah kiri kapal, rupanya Lukman dan Rani asik bermain di sisi sebelah kanan. Mereka masih penasaran dengan koral yang ada. Setelah teman - teman yang ada di sisi sebelah kiri selesai berenang dan naik ke atas kapal, rupanya Rani dan Lukman masih asik di bawah sana. Namun itu tak bertahan lama, karena sesaat kemudian mereka berdua berenang sangat cepat sekali mengarah ke kapal. Bagaikan dikejar trantib mereka begitu cepat berenang menuju kapal, Rani sampai lebih dulu disusul kemudian Lukman. Rupanya telah terjadi percumbuan romantis antara Lukman dan ubur - ubur, dimana ubur - ubur setempat menyukai bibir seksi Lukman yang mengakibatkan mereka tak segan untuk mencium bibir Lukman yang seksi itu. Saat naik ke kapal, barulah terlihat jelas bukti cinta suci ubur - ubur dengan Lukman, dimana tanda merah tepat mendarat di bibir Lukman. Lalu, bagaimana dengan Rani? Rani juga terkena, namun karena dia cekatan jadi hanya lutut yang tersengat oleh ubur - ubur.
Tempat snorkling terakhir sebelum langit gelap telah kami nikmati. Pemborosan waktu mencari spot snorkling membuat sedikit kecewa. Sisa waktu yang ada kami habiskan di jalan menuju Pulau Bulat, belok dari Pulau Kayu Angin yang rupanya sedang di jaga petugas. Kami berkemah di inti dari koral Kepulauan Seribu.
snorkling time |
snorkling time |
Tempat snorkling terakhir sebelum langit gelap telah kami nikmati. Pemborosan waktu mencari spot snorkling membuat sedikit kecewa. Sisa waktu yang ada kami habiskan di jalan menuju Pulau Bulat, belok dari Pulau Kayu Angin yang rupanya sedang di jaga petugas. Kami berkemah di inti dari koral Kepulauan Seribu.
Merinding di Pulau Bulat
Pulau Bulat merupakan pulau yang
tidak berpenghuni namun di dalamnya terdapat bangunan yang cukup besar dan
pendopo yang sangat luas. Pulau ini lebih luas dari pulau Semak Daun ataupun
Semut. Saat kami berkunjung pulau ini sedang dijaga oleh petugas yang biasa
didaulat untuk menjaga pulau. Konon, Pulau Bulat ini milik dari salah satu
keluarga cendana yang tersohor itu. Pulau ini juga terdapat dermaga sederhana
yang dikelilingi oleh tembok pemecah ombak. Pasir putih yang sore itu terlihat
lembut ditambah air laut yang hangat membuat suasana menjadi nyaman. Kami
mencari spot untuk mendirikan tenda tepat dipinggir pantai menghadap ke arah
laut lepas dan dikejauhan terlihat kerlip lampu yang mulai menyala. Satu
persatu dari kami membasuh diri di sumur sederhana di belakang sana. Saya masih
ingin berenang.
matahari tenggelam di atas Pulau Bulat |
Pulau yang sepintas terlihat
angker kali ini sedang dikunjungi oleh anak – anak kota pencari ketenangan.
Setelah semua selesai membasuh badan, saya mendapat kabar bahwa kapal yang
menuju Jakarta berangkat pagi – pagi sekali esok, pilihannya hanya dua,
memperpanjang waktu tinggal, atau tetap pulang esok hari dengan rute Pramuka
menuju Jakarta. Kami memilih untuk pilihan ke dua, karena kesibukan masing –
masing individu. Tak terlalu memikirkan hal itu kami memulai bakar ikan untuk
santap malam. Melingkar diiringi senda gurau, kami menyantap makanan sederhana
yang tersaji. Hingga kenyang dan kami menjadi sedikit bodoh, karena bingung mau
beraktivitas apalagi.
Hari semakin malam, sebagian dari
kami ada yang menetap di tenda, dan saya sendiri bersama beberapa teman menuju
dermaga. Bertukar cerita mengenai matematika, kimia, sampai masalah
pemerintahan, pariwisata dan pengalaman jalan – jalan di Indonesia. Hingga
hanya tinggal saya, Rani dan seorang lelaki teman dekat dari Kak Ahlul yang
saya lupa namanya *maaf* kami terus bertukar pikiran. Tiba – tiba ketika kami
bertiga hendak kembali ke tenda, Yaumal dan Fuad menyusul ke dermaga.
Sepertinya saya menangkap gelagat aneh. Karena mereka terlihat sedikit takut.
Nanti akan saya cari tahu, sekarang saatnya bersenang – senang, bersenda gurau.
Angin laut bertiup sangat
kencang, namun suhu sangat panas. Tak ada bulan purnama malam ini. Gelap. Di
kejauhan hanya terlihat deburan ombak yang saling menyusul berlomba mengais
pasir pantai terdekat. Kerlip lampu di pulau sebelah juga jelas terlihat. Kami
di Pulau Bulat bagaikan manusia – manusia terasing yang mencari kegelapan,
ketenangan dalam kesunyian.
Ketika kembali ke tenda banyak
dari kami sudah terlelap dalam mimpi, ada yang di dalam tenda ada yang
menggelar matras di pinggir pantai. Entah mengapa saat itu suhu udara begitu
panas, saya pun sangat kegerahan, padahal di pulau ini pohon masih sangat
banyak dan rindang. Mencoba memejamkan mata, hanya bertahan sebentar. Saya
memutuskan untuk keluar tenda, rupanya Lukman, Yaumal, Amel, Vidia, Ochid, dan
Rani juga ikut ambil bagian. Asik. Tengah malam, entah pukul berapa kami
membuat agar – agar untuk membunuh rasa bosan. Kembali bertukar cerita dari
yang bersifat pengalaman pribadi sampai yang umum, selera musik sampai masalah
perempuan. Semua dikupas tuntas. Saya sebagai pendengar yang baik hanya
sesekali memberikan pendapat. Entah, sudah tengah malam begini, angin berhembus
sangat pelan, bahkan sampai tak terasa hempasannya.
Satu persatu bercerita, satu
persatu pula tertidur tak tentu arah. Tenda kuning yang diperuntukkan untuk
para kaum hawa hanya terisi oleh Kak Ahlul, sedangkan yang lainnya tertidur di
matras beratapkan langit Jakarta yang sedang mendung. Mereka para kaum hawa
ditemani Fuad dan Kak Adi. Sedangkan kaum adam yang lainnya menempati tenda
yang tersedia. Itupun tak bertahan lama.
Ingatan saya ketika sepi seperti
ini kembali membuka memori rasa penasaran saya yang menyeruak ketika Yaumal dan
Fuad yang sedang tertidur terbangun dan segera menghampiri saya saat tadi
sedang berada di dermaga bersama Rani, dan teman lelaki Kak Ahlul. Dengan berani
mereka mengatakan bahwa di saat kondisi camp sedang sepi karena sebagian dari
kami ke dermaga untuk menghabiskan waktu, rupanya tenda yang mereka tempati
sempat bergoyang sangat keras dan cukup mengagetkan, padahal, saat itu hanya
tinggal Yaumal dan Fuad, serta Kak Adi dan Lukman yang sedang tertidur pulas di
pinggir pantai. Sontak Yaumal segera menyisir keadaan sekitar, kesimpulan
pertama tidak mungin angin, karena saat itu angin sama sekali tidak bertiup,
yang ke dua tidak juga Lukman atau Kak Adi yang saat itu sedang asik bermain
dengan mimpinya masing – masing. Entahlah, Yaumal segera membangunkan mereka
yang tertidur dan segera menyusul saya yang sedang asik bercengkrama di
dermaga. Ah, sudahlah, saat sedang makan malam pun banyak kejadian aneh, tak
perlu saya buka semuanya, nanti tak ada yang mau kemah di pulau cantik itu.
Kesejukkan Pulau Bulat, Pulau
Panjang Kecil hingga Panasnya Pulau Harapan
Pagi itu, tepat dimana sebagian
dari kami bangun terlalu siang. Semburat orange yang tak kunjung datang hanya
gerombolan awan yang senang menggelayut di langit Jakarta. Kami membuat roti bakar
dengan teh manis untuk sarapan. Tak terlihat wajah – wajah ketakutan, karena
memang hanya sebagian kecil dari rombongan yang mengetahui kejadian yang
membuat bulu kuduk sedikit menegang.
Berjalan menapaki pasir pantai
yang putih, halus tetapi besar – besar seperti butiran merica yang banyak
jumlahnya saya biarkan telapak kaki saya menyentuhnya dengan nyaman, biar
terbiasa dengan suasana pantai. Perlahan mengelilingi tapak demi setapak
mencari pasir putih landai yang asik untuk bermain air. Dan, saya menemukannya
di sisi sebelah kanan kanan dari dermaga, hanya kecil dan sedikit kotor karena
sampah manusia – manusia pencari kesenangan yang tidak bertanggung jawab.
Rani, Fuad, Yaumal |
Fuad, Yaumal, Amel, Vidia, Ochid |
Matahari perlahan mulai
menghangatkan tubuh dingin ini. tak ada semburat orange, tak ada gradasi warna
tanda matahari terbit. Mendadak matahari bersinar menyinari pulau ini. Berpindah tempat menuju dermaga lama yang sudah tinggal puing – puing saja.
dari sini terlihat pulau – pulau terdekat terlihat jelas, dengan bangunan rumah
– rumah sederhana, tanpa aktivitas. Kembali menyusuri butiran merica yang
berjumlah sangat banyak, pasir ini sedikit menggelitik telapak kaki. Menuju bagian
belakang pulau dan kami menemukan pendopo yang besar, yang semalam santer
terdengar dibicarakan oleh penjaga pulau kalau di sini ada pendopo kemudian di
malam itu pendopo seakan menghilang ditelan gelap. Seandainya semalam hujan
turun, saya lebih baik menetap di dalam tenda daripada harus pindah ke pendopo
ini. Maaf, saya tidak mengambil gambar pendopo, karena auranya tidak enak, jadi
saya segera berlari kembali menghampiri teman – teman yang sedang berkumpul di
camp.
Dermaga Lama Pulau Bulat |
Pulau Seberang |
***
Kapal yang menjemput sudah
terlihat di seberang. Wanita – wanita "kompleks" teman serombongan Weny ada di
dalamnya. Mereka akan singgah sebentar di Pulau Bulat ini, baru kami akan
mengarungi biru laut teluk Jakarta lagi.
Cewe "kompleks" |
Tujuan selanjutnya adalah Pulau
Panjang Kecil, sampai saat ini saya tidak mengerti kenapa dinamakan “Panjang
Kecil” padahal bentuk pulau ini jika dikelilingi tak beraturan dan memang
kecil, tetapi tidak panjang. Awal yang mengesankan jika berkunjung ke pulau
ini. air laut dengan gradasi biru, biru muda kemudian putih lembut, ditambah
terumbu karang yang masih sangat terjaga baik tepat di bawah dermaga.
Pulau Panjang Kecil *Foto Pilihan HUT DKI 2011 dari Detikdotcom |
Selanjutnya
di pulau ini juga terdapat bangunan yang sangat terawat, karena memang pulau
ini berpenghuni, tapi tidak banyak. Selebihnya landscape yang ada dibuat seperti
joggingtrack dengan bata block dibuat seperti sedang mengelilingi taman. Jika kita
mau berkeliling pulau ini, banyak terdapat pohon bakau yang sedang tumbuh atau
sudah berusia “remaja”. Pasir pantai di pulau ini juga lembut, tidak seperti
merica, tetapi selayaknya pasir pantai yang sangat halus seperti bedak. Dermaga
yang cukup panjang untuk menjangkau gerbang pulau serta dalam kondisi miring
membuat pulau ini sepertinya ingin sekali menerima tamu. Pulau yang bersih dan
indah.
Laut Panjang Kecil |
Cewe "kompleks" |
pucuk bakau yang sedang tumbuh |
Kepuasan menikmati Pulau Panjang
Kecil harus terhenti ketika mentari lagi – lagi membakar kulit ini dengan
sangat menyengat. Saya harus bergegas menuju Pulau Harapan, yang jaraknya
tidak jauh dari pulau itu. Pulau yang cukup besar dan ramai dihuni manusia tetapi minim pohon. Pulau yang
sangat panas, tidak nyaman. Sesuatu yang menarik di pulau ini nantinya adalah,
adanya taman bermain interaktif diperuntukan untuk para wisatawan. Mungkin,
nantinya Pulau Harapan akan dibuat seperti Pulau Pramuka atau Tidung yang lebih
dulu dikenal. Mau tidak mau memang Pulau Harapan seperti harus berlomba
mempercantik dan menghijaukan daratannya untuk menarik wisatawan, karena dengan
potensi keindahan bawah laut yang lebih baik karena berada di zona inti Taman
Nasional, mambuat Pulau Harapan benar – benar punya harapan yang besar dari
sektor pariwisata bawah laut.
Lama, sangat lama saya di Pulau
Harapan yang panas ini, menunggu rombongan Weny dan Singgih selesai
beraktivitas. Membosankan. Terik matahari tanpa adanya awan yang menggelayut
membuat sinarnya langsung menyirami kulit – kulit eksotik anak manusia, tepat
tengah hari kami akhirnya bisa lepas dari pulau panas ini. Kembali ke Pulau
Pramuka.
Pulau Harapan |
Pulau ramai tetapi sejuk ini
sudah ada di depan mata, jam menunjukkan pukul 1.30 siang hari, tak ada keramaian
dermaga. Kami ketinggalan kapal. Tetapi, menurut pengalaman masih ada kapal jam
2 menuju Jakarta, sedikit kesal dengan keterlambatan. Tak ada aksi nyata dari
TS, saya memutuskan untuk menuju rumah Pak Hermanto, makan siang sambil
menunggu kapal datang.
Makan siang telah tersaji, namun kapal yang ditumpangi Weny, Singgih dan rombongannya akan segera berangkat, panik, namun pak Hermanto dengan sigap mengatakan, tidak usah risau, masih ada kapal carteran yang lebih nyaman dan lebih cepat, saya dipersilahkan untuk kembali makan siang dan berpisah dengan rombongan Weny dan Singgih. Senyum mengembang melihat makanan yang siap disantap kembali. Sepi sudah Pulau Pramuka, hanya tinggal saya dan teman – teman serta rombongan kapal carteran yang jumlahnya pun tidak banyak. Dengan hati lega walaupun sedikit kesal, liburan penuh emosi berakhir. Nanti jam 2.30 kami akan kembali ke Jakarta, kembali beraktivitas seperti biasa, kembali dalam hiruk pikuk keramaian jalanan ibukota yang menyenangkan.
___
Rute Pulau Bulat : Muara Angke –
Pulau Pramuka – Pulau Bulat atau Muara Angke – Pulau Harapan – Pulau Bulat. Dengan
catatan keberangkatan kapal menuju Pulau Harapan jam 6.30 dan semoga tidak ada
Petugas HubLa yang mengganggu aktivitas pariwisata.
aku jg pernah ke pulau bulat ngcamp 2 malam disana karena situasinya hujan kami jd numpang di teras pendopo itu yg ada balenya. pendoponya serem bgt, temen2ku ada yg di gangguin sm penghuni pendopo itu. kaki temenku ada yg di tarik2, ada anak kecil loncat, ada yg liat buletan putih bersinar gitu, pokonya serem bgtttttt
BalasHapus