Minggu, 09 Oktober 2011

Pulau Bulat, Panjang Kecil : Alternatif Wisata Kepulauan Seribu, 22 - 23 April 2011

"esensinya sebuah perjalanan itu untuk kesenangan, siapapun tidak berhak mengganggu apalagi merusuh dengan alasan apapun"
Pulau Bulat
Muara Angke Kelebihan Pengunjung
Ayam masih tertidur dalam lelap, ketika saya dan beberapa teman sudah terbangun. Bergegas. Jumat pagi ini akan menjadi hari yang indah, bermain air di teluk Jakarta dan bersenang – senang. Seperti biasa aku selalu membuat janji untuk berkumpul di Pelabuhan Muara Angke pagi – pagi sekali. Perjalanan awal, kami akan mengunjungi Pulau Semut, namun ketika seorang teman memberi option untuk berangkat bersama dengan tujuan pulau yang berbeda, saya bersedia, mengingat ia sudah lama menggeluti bidang pulau ini.

Pelabuah Muara Angke pagi ini amat berbeda, tadi saya melihat Singgih di kejauhan, ketika sampai tepat di pinggir dermaga Singgih sudah menghilang, hanya Weny yang sedang melambaikan tangan untuk menandakan keberadaannya. Mulai aneh, ada apa sebenarnya. Bukan karena banyaknya pengunjung yang memang sudah diantisipasi sebelumnya, melainkan banyaknya petugas Perhubungan Laut yang ikut berbaur dengan para wisatawan. Hari itu memang saat dimana libur panjang dimulai, banyak sekali wisatawan asing yang hadir, kalau wisatawan domestik tidak usah ditanya, jumlahnya sangat amat banyak.

Singgih ternyata sudah lebih dulu naik kapal menuju Pulau Harapan. Sedangkan saya dan rombongan hanya tertinggal beberapa menit saja, karena di kejauhan kapal yang Singgih tumpangi masih dapat terlihat mata dengan sangat jelas. Selanjutnya saya menunggu dengan sabar. Ketika jam menunjukkan pukul 7 dimana matahari sudah bersinar sangat terik saya penasaran, kapal menuju Pulau Harapan itu memang hanya satu, pagi tadi sudah berangkat, namun yang menuju Pulau Pramuka itu jumlahnya sangat banyak, tapi selalu penuh, dan yang membuat aneh lagi, kali ini penumpang dibatasi, jika sudah mencapai 150 orang kapal harus segera berangkat, itu semua ulah dari petugas Perhubungan Laut yang arogan. Penasaran kembali memuncak ketika Weni mengatakan bahwa temannya masih dalam perjalanan menujut Pelabuhan Muara Angke, awalnya saya ingin naik kapal yang menuju Pramuka karena terlalu lama menunggu, namun tak enak hati karena dari awal saya sudah menyatakan berangkat bersama dengan Weny.
Pelabuhan Muara Angke
Pelabuhan Muara Angke, dikejauhan kapal Petigas HubLa
Menjelang jam 8 pagi teman - teman Weny datang, perempuan semua dan seketika itu juga mata dari lelaki - lelaki yang datang melotot terbelalak kagum, mereka seperti wanita - wanita kompleks yang datang menyambangi kumpulan penyamun pasar. Reaksi yang sedikit berlebihan memang, tetapi jika melihat reaksi dari Lukman dan Mamet, seperti haus wanita. Berkenalan singkat dan kembali menunggu kapal yang akan mengangkut kami. Terdiam dalam terik matahari pagi.

Sempat terjadi adegan turun naik kapal karena ada beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab, itu membuat saya dan teman – teman sangat kelelahan dan sedikit emosi. Sungguh. Matahari semakin menunjukkan keberadaannya, terik sudah. Seharusnya saya sudah berlayar menuju pulau, namun kali ini masih terdampar di Muara Angke bersama ratusan pernumpang lainnya. Berharap datang kapal yang setidaknya menuju Pramuka. Menunggu dan menunggu.

Ketika jam menunjukkan tepat jam 10 pagi kapal yang ditunggu datang, namun dimana petugas Perhubungan Laut yang dari tadi selalu menghalangi para penumpang yang ingin berlibur? Karena kapal ini pada akhirnya memuat penumpang yang amat sangat berlebih. Kesan pertama berjumpa dengan petugas yang sangat aneh. Sumpah aneh! Hampir semua orang yang naik kapal yang saya tumpangi tidak ada yang bisa meluruskan kakinya, karena mereka duduk sangat berdempetan. Saya mengambil tempat diatas, dan paling belakang agar mendapat angin laut mencegah mual. Tak banyak aktivitas selama perjalanan, mungkin mereka benar – benar kelelahan, sesekali bertukar cerita dan akhirnya tertidur. Hanya tinggal segelintir orang saja yang masih bersuara berbagi kekesalan dan cerita, saya salah satu dari orang itu.
Penuh Sesak
Matahari tepat berada dititik tertingginya, bayangan sudah tak nampak ketika saya dan teman – teman sampai di Pulau Pramuka. Lapar. Sempat bertemu dengan artis idola, Fitrop als Fitri Tropica yang ternyata satu kapal dengan kami, hanya saja dia di bawah bersama teman – temannya. Fitrop sang wanita dengan gaya berlebihan dan itu yang membuat sebagian dari kami sangat mengidolakannya. Terlihat lebih cantik daripada di tv. Ramah dan bersahaja. Kami tak menghabiskan banyak waktu, setelah berfoto dengan Fitrop, karena sama – sama mempunyai agenda lain, segera menuju masjid besar ditengah – tengah pulau. Salin dan kembali beristirahat. Saya dan Rani mencari makan siang untuk kemudian dimakan saat perjalanan menuju spot snorkling.
bersama Fitrop
Menjelang jam 1 siang, 2 kapal datang menjemput. Singgih dan teman – temannya sudah berada di dalam kapal itu. Tak banyak bercerita kami segera naik ke kapal. Saya berpisah dengan rombongan Singgih dan Weny yang akan menuju Pulau Harapan, mereka bermalam di homestay. Dan saya perlahan akan menuju Pulau Bulat, yang menyesalkan ketika sadar saya mendapat nahkoda yang sangat tidak berpengalaman. Untuk mencari spot snorkling saja tidak bisa menentukan dimana titik terbaik. Hanya beberapa tempat yang sedikit mengobati kepuasan batin.
snorkling time

snorkling time
Spot snorkling yang terakhir sesaat sebelum kami menuju Pulau Bulat merupakan kumpulan dari hardcoral yang berbentuk seperti bakso disusun berjajar rapih sekali. Jelas terlihat dari atas kapal membuat para awak ingin segera mencumbunya. Tak tersisa awak kapal kecuali saya yang sudah malas untuk basah, hanya memperhatikan dari atas kapal keriangan mereka. Saat teman - teman yang lain asik bermain di sisi sebelah kiri kapal, rupanya Lukman dan Rani asik bermain di sisi sebelah kanan. Mereka masih penasaran dengan koral yang ada. Setelah teman - teman yang ada di sisi sebelah kiri selesai berenang dan naik ke atas kapal, rupanya Rani dan Lukman masih asik di bawah sana. Namun itu tak bertahan lama, karena sesaat kemudian mereka berdua berenang sangat cepat sekali mengarah ke kapal. Bagaikan dikejar trantib mereka begitu cepat berenang menuju kapal, Rani sampai lebih dulu disusul kemudian Lukman. Rupanya telah terjadi percumbuan romantis antara Lukman dan ubur - ubur, dimana ubur - ubur setempat menyukai bibir seksi Lukman yang mengakibatkan mereka tak segan untuk mencium bibir Lukman yang seksi itu. Saat naik ke kapal, barulah terlihat jelas bukti cinta suci ubur - ubur dengan Lukman, dimana tanda merah tepat mendarat di bibir Lukman. Lalu, bagaimana dengan Rani? Rani juga terkena, namun karena dia cekatan jadi hanya lutut yang tersengat oleh ubur - ubur.

Tempat snorkling terakhir sebelum langit gelap telah kami nikmati. Pemborosan waktu mencari spot snorkling membuat sedikit kecewa. Sisa waktu yang ada kami habiskan di jalan menuju Pulau Bulat, belok dari Pulau Kayu Angin yang rupanya sedang di jaga petugas. Kami berkemah di inti dari koral Kepulauan Seribu.

Merinding di Pulau Bulat
Pulau Bulat merupakan pulau yang tidak berpenghuni namun di dalamnya terdapat bangunan yang cukup besar dan pendopo yang sangat luas. Pulau ini lebih luas dari pulau Semak Daun ataupun Semut. Saat kami berkunjung pulau ini sedang dijaga oleh petugas yang biasa didaulat untuk menjaga pulau. Konon, Pulau Bulat ini milik dari salah satu keluarga cendana yang tersohor itu. Pulau ini juga terdapat dermaga sederhana yang dikelilingi oleh tembok pemecah ombak. Pasir putih yang sore itu terlihat lembut ditambah air laut yang hangat membuat suasana menjadi nyaman. Kami mencari spot untuk mendirikan tenda tepat dipinggir pantai menghadap ke arah laut lepas dan dikejauhan terlihat kerlip lampu yang mulai menyala. Satu persatu dari kami membasuh diri di sumur sederhana di belakang sana. Saya masih ingin berenang.

matahari tenggelam di atas Pulau Bulat
Pulau yang sepintas terlihat angker kali ini sedang dikunjungi oleh anak – anak kota pencari ketenangan. Setelah semua selesai membasuh badan, saya mendapat kabar bahwa kapal yang menuju Jakarta berangkat pagi – pagi sekali esok, pilihannya hanya dua, memperpanjang waktu tinggal, atau tetap pulang esok hari dengan rute Pramuka menuju Jakarta. Kami memilih untuk pilihan ke dua, karena kesibukan masing – masing individu. Tak terlalu memikirkan hal itu kami memulai bakar ikan untuk santap malam. Melingkar diiringi senda gurau, kami menyantap makanan sederhana yang tersaji. Hingga kenyang dan kami menjadi sedikit bodoh, karena bingung mau beraktivitas apalagi.

Hari semakin malam, sebagian dari kami ada yang menetap di tenda, dan saya sendiri bersama beberapa teman menuju dermaga. Bertukar cerita mengenai matematika, kimia, sampai masalah pemerintahan, pariwisata dan pengalaman jalan – jalan di Indonesia. Hingga hanya tinggal saya, Rani dan seorang lelaki teman dekat dari Kak Ahlul yang saya lupa namanya *maaf* kami terus bertukar pikiran. Tiba – tiba ketika kami bertiga hendak kembali ke tenda, Yaumal dan Fuad menyusul ke dermaga. Sepertinya saya menangkap gelagat aneh. Karena mereka terlihat sedikit takut. Nanti akan saya cari tahu, sekarang saatnya bersenang – senang, bersenda gurau.

Angin laut bertiup sangat kencang, namun suhu sangat panas. Tak ada bulan purnama malam ini. Gelap. Di kejauhan hanya terlihat deburan ombak yang saling menyusul berlomba mengais pasir pantai terdekat. Kerlip lampu di pulau sebelah juga jelas terlihat. Kami di Pulau Bulat bagaikan manusia – manusia terasing yang mencari kegelapan, ketenangan dalam kesunyian.

Ketika kembali ke tenda banyak dari kami sudah terlelap dalam mimpi, ada yang di dalam tenda ada yang menggelar matras di pinggir pantai. Entah mengapa saat itu suhu udara begitu panas, saya pun sangat kegerahan, padahal di pulau ini pohon masih sangat banyak dan rindang. Mencoba memejamkan mata, hanya bertahan sebentar. Saya memutuskan untuk keluar tenda, rupanya Lukman, Yaumal, Amel, Vidia, Ochid, dan Rani juga ikut ambil bagian. Asik. Tengah malam, entah pukul berapa kami membuat agar – agar untuk membunuh rasa bosan. Kembali bertukar cerita dari yang bersifat pengalaman pribadi sampai yang umum, selera musik sampai masalah perempuan. Semua dikupas tuntas. Saya sebagai pendengar yang baik hanya sesekali memberikan pendapat. Entah, sudah tengah malam begini, angin berhembus sangat pelan, bahkan sampai tak terasa hempasannya.

Satu persatu bercerita, satu persatu pula tertidur tak tentu arah. Tenda kuning yang diperuntukkan untuk para kaum hawa hanya terisi oleh Kak Ahlul, sedangkan yang lainnya tertidur di matras beratapkan langit Jakarta yang sedang mendung. Mereka para kaum hawa ditemani Fuad dan Kak Adi. Sedangkan kaum adam yang lainnya menempati tenda yang tersedia. Itupun tak bertahan lama.

Ingatan saya ketika sepi seperti ini kembali membuka memori rasa penasaran saya yang menyeruak ketika Yaumal dan Fuad yang sedang tertidur terbangun dan segera menghampiri saya saat tadi sedang berada di dermaga bersama Rani, dan teman lelaki Kak Ahlul. Dengan berani mereka mengatakan bahwa di saat kondisi camp sedang sepi karena sebagian dari kami ke dermaga untuk menghabiskan waktu, rupanya tenda yang mereka tempati sempat bergoyang sangat keras dan cukup mengagetkan, padahal, saat itu hanya tinggal Yaumal dan Fuad, serta Kak Adi dan Lukman yang sedang tertidur pulas di pinggir pantai. Sontak Yaumal segera menyisir keadaan sekitar, kesimpulan pertama tidak mungin angin, karena saat itu angin sama sekali tidak bertiup, yang ke dua tidak juga Lukman atau Kak Adi yang saat itu sedang asik bermain dengan mimpinya masing – masing. Entahlah, Yaumal segera membangunkan mereka yang tertidur dan segera menyusul saya yang sedang asik bercengkrama di dermaga. Ah, sudahlah, saat sedang makan malam pun banyak kejadian aneh, tak perlu saya buka semuanya, nanti tak ada yang mau kemah di pulau cantik itu.

Kesejukkan Pulau Bulat, Pulau Panjang Kecil hingga Panasnya Pulau Harapan
Pagi itu, tepat dimana sebagian dari kami bangun terlalu siang. Semburat orange yang tak kunjung datang hanya gerombolan awan yang senang menggelayut di langit Jakarta. Kami membuat roti bakar dengan teh manis untuk sarapan. Tak terlihat wajah – wajah ketakutan, karena memang hanya sebagian kecil dari rombongan yang mengetahui kejadian yang membuat bulu kuduk sedikit menegang.

Berjalan menapaki pasir pantai yang putih, halus tetapi besar – besar seperti butiran merica yang banyak jumlahnya saya biarkan telapak kaki saya menyentuhnya dengan nyaman, biar terbiasa dengan suasana pantai. Perlahan mengelilingi tapak demi setapak mencari pasir putih landai yang asik untuk bermain air. Dan, saya menemukannya di sisi sebelah kanan kanan dari dermaga, hanya kecil dan sedikit kotor karena sampah manusia – manusia pencari kesenangan yang tidak bertanggung jawab.
Rani, Fuad, Yaumal
Fuad, Yaumal, Amel, Vidia, Ochid
Matahari perlahan mulai menghangatkan tubuh dingin ini. tak ada semburat orange, tak ada gradasi warna tanda matahari terbit. Mendadak matahari bersinar menyinari pulau ini. Berpindah tempat menuju dermaga lama yang sudah tinggal puing – puing saja. dari sini terlihat pulau – pulau terdekat terlihat jelas, dengan bangunan rumah – rumah sederhana, tanpa aktivitas. Kembali menyusuri butiran merica yang berjumlah sangat banyak, pasir ini sedikit menggelitik telapak kaki. Menuju bagian belakang pulau dan kami menemukan pendopo yang besar, yang semalam santer terdengar dibicarakan oleh penjaga pulau kalau di sini ada pendopo kemudian di malam itu pendopo seakan menghilang ditelan gelap. Seandainya semalam hujan turun, saya lebih baik menetap di dalam tenda daripada harus pindah ke pendopo ini. Maaf, saya tidak mengambil gambar pendopo, karena auranya tidak enak, jadi saya segera berlari kembali menghampiri teman – teman yang sedang berkumpul di camp. 
Dermaga Lama Pulau Bulat
Pulau Seberang
Dermaga
***
Kapal yang menjemput sudah terlihat di seberang. Wanita – wanita "kompleks" teman serombongan Weny ada di dalamnya. Mereka akan singgah sebentar di Pulau Bulat ini, baru kami akan mengarungi biru laut teluk Jakarta lagi.
Cewe "kompleks"
Tujuan selanjutnya adalah Pulau Panjang Kecil, sampai saat ini saya tidak mengerti kenapa dinamakan “Panjang Kecil” padahal bentuk pulau ini jika dikelilingi tak beraturan dan memang kecil, tetapi tidak panjang. Awal yang mengesankan jika berkunjung ke pulau ini. air laut dengan gradasi biru, biru muda kemudian putih lembut, ditambah terumbu karang yang masih sangat terjaga baik tepat di bawah dermaga. 
Pulau Panjang Kecil *Foto Pilihan HUT DKI 2011 dari Detikdotcom
Selanjutnya di pulau ini juga terdapat bangunan yang sangat terawat, karena memang pulau ini berpenghuni, tapi tidak banyak. Selebihnya landscape yang ada dibuat seperti joggingtrack dengan bata block dibuat seperti sedang mengelilingi taman. Jika kita mau berkeliling pulau ini, banyak terdapat pohon bakau yang sedang tumbuh atau sudah berusia “remaja”. Pasir pantai di pulau ini juga lembut, tidak seperti merica, tetapi selayaknya pasir pantai yang sangat halus seperti bedak. Dermaga yang cukup panjang untuk menjangkau gerbang pulau serta dalam kondisi miring membuat pulau ini sepertinya ingin sekali menerima tamu. Pulau yang bersih dan indah.
Laut Panjang Kecil
Cewe "kompleks"

pucuk bakau yang sedang tumbuh
Kepuasan menikmati Pulau Panjang Kecil harus terhenti ketika mentari lagi – lagi membakar kulit ini dengan sangat menyengat. Saya harus bergegas menuju Pulau Harapan, yang jaraknya tidak jauh dari pulau itu. Pulau yang cukup besar dan ramai dihuni manusia tetapi minim pohon. Pulau yang sangat panas, tidak nyaman. Sesuatu yang menarik di pulau ini nantinya adalah, adanya taman bermain interaktif diperuntukan untuk para wisatawan. Mungkin, nantinya Pulau Harapan akan dibuat seperti Pulau Pramuka atau Tidung yang lebih dulu dikenal. Mau tidak mau memang Pulau Harapan seperti harus berlomba mempercantik dan menghijaukan daratannya untuk menarik wisatawan, karena dengan potensi keindahan bawah laut yang lebih baik karena berada di zona inti Taman Nasional, mambuat Pulau Harapan benar – benar punya harapan yang besar dari sektor pariwisata bawah laut.

Lama, sangat lama saya di Pulau Harapan yang panas ini, menunggu rombongan Weny dan Singgih selesai beraktivitas. Membosankan. Terik matahari tanpa adanya awan yang menggelayut membuat sinarnya langsung menyirami kulit – kulit eksotik anak manusia, tepat tengah hari kami akhirnya bisa lepas dari pulau panas ini. Kembali ke Pulau Pramuka.
Pulau Harapan
Pulau ramai tetapi sejuk ini sudah ada di depan mata, jam menunjukkan pukul 1.30 siang hari, tak ada keramaian dermaga. Kami ketinggalan kapal. Tetapi, menurut pengalaman masih ada kapal jam 2 menuju Jakarta, sedikit kesal dengan keterlambatan. Tak ada aksi nyata dari TS, saya memutuskan untuk menuju rumah Pak Hermanto, makan siang sambil menunggu kapal datang.

Makan siang telah tersaji, namun kapal yang ditumpangi Weny, Singgih dan rombongannya akan segera berangkat, panik, namun pak Hermanto dengan sigap mengatakan, tidak usah risau, masih ada kapal carteran yang lebih nyaman dan lebih cepat, saya dipersilahkan untuk kembali makan siang dan berpisah dengan rombongan Weny dan Singgih. Senyum mengembang melihat makanan yang siap disantap kembali. Sepi sudah Pulau Pramuka, hanya tinggal saya dan teman – teman serta rombongan kapal carteran yang jumlahnya pun tidak banyak. Dengan hati lega walaupun sedikit kesal, liburan penuh emosi berakhir. Nanti jam 2.30 kami akan kembali ke Jakarta, kembali beraktivitas seperti biasa, kembali dalam hiruk pikuk keramaian jalanan ibukota yang menyenangkan.

___
Rute Pulau Bulat : Muara Angke – Pulau Pramuka – Pulau Bulat atau Muara Angke – Pulau Harapan – Pulau Bulat. Dengan catatan keberangkatan kapal menuju Pulau Harapan jam 6.30 dan semoga tidak ada Petugas HubLa yang mengganggu aktivitas pariwisata.

1 komentar:

  1. aku jg pernah ke pulau bulat ngcamp 2 malam disana karena situasinya hujan kami jd numpang di teras pendopo itu yg ada balenya. pendoponya serem bgt, temen2ku ada yg di gangguin sm penghuni pendopo itu. kaki temenku ada yg di tarik2, ada anak kecil loncat, ada yg liat buletan putih bersinar gitu, pokonya serem bgtttttt

    BalasHapus