Selasa, 19 Juli 2011

Long Road to Mahameru : The Highest Point of Java Island, 14 - 18 September 2010

Dipojokkan saya duduk termenung menunggu dua teman baru, Nanunk dan Awal lalu Angga sedang sibuk mencari tukang ketoprak untuk makan siang. Saat itu udara sangat panas dan terik. Banyak sekali manusia berlalu-lalang di St. Senen. Ada yang sedang mengantre, ada yang sedang duduk dan banyak juga orang-orang muda berkelompok yang menggendong keril besar-besar. Mungkin kita satu tujuan, tapi tidak tahu juga. Kita lihat saja nanti. Tujuan saya saat itu Mahameru.
Mahameru terlihat dari jalur pendakian
Mahameru, nama sebuah puncak gunung tertinggi di Jawa Timur, masuk dalam bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Mahameru sendiri adalah nama puncak dari gunung Semeru, sebuah gunung yang menjulang paling tinggi yang hanya saya bisa lihat dari Pananjakan saat berkunjung ke Bromo 5 tahun lalu. Mahameru puncak dengan ketinggian 3676 mdpl telah terpublikasi dengan sangat apik oleh para fotografer, para pembuat cerita, bahkan seorang penulis buku bisa mendeskripsikannya dengan sangat baik, 5 cm. Selain itu Dewa 19 jauh sebelumnya telah mengabadikan Mahameru melalui lagunya yang sangat cantik dan mendeskripsikan bagaimana perjalanan menuju puncak abadi para dewa tersebut.

Hari ini adalah H+4 Idul Fitri dan ini adalah pengalaman pertama saya ketika saya harus pergi dari rumah dalam waktu yang lama sesaat setelah lebaran berlangsung. Itu hal yang teraneh yang pernah saya lakukan. Pantas saja jika St. Senen begitu ramai akan manusia-manusia yang ingin kembali ke kampung halaman mereka atau yang dari kampung halaman ingin kembali ke Jakarta, mengadu nasib.

Ketoprak yang ditunggu pun datang, dengan lahap saya dan Angga menghabiskan ketoprak itu. Saat itu sudah jam 1 siang, tanda-tanda Nanunk dan Awal datang pun belum terlihat, saya putuskan untuk menunggu di mushola stasiun terdekat dan Angga tetap dipojokan stasiun saat kami datang.

Jakarta - Malang
Setelah selesai solat, Nanunk dan Awal pun datang sebelum waktu kereta diberangkatkan. Namun keputusan mereka untuk datang terlambat nampaknya sangat tepat. Karena siapa yang tidak tahu kereta ekonomi selalu telat apalagi saat lebaran sepeti ini, dimana penumpang mebludak dan pelayanan tetap standar, tidak ada peningkatan.

Setelah menunggu cukup lama KA Matarmaja jurusan Jakarta – Malang pun datang. Kondisi sudah penuh sesak. Saya yang mempunyai badan kurus saja kesulitan untuk berjalan di dalam gerbong, setidaknya untuk menaruh keril saja tidak memungkinkan dan akhirnya saya putuskan untuk turun kemudian menaiki KA Matarmaja Lebaran setelah sepakat dengan Angga, Awal dan Nanunk. 
menunggu KA Matarmaja, St. Senen
 KA. Matarmaja Lebaran sengaja disediakan PT. KAI untuk mengantisipasi membludaknya pengguna kereta. Dan kami salah satu korban. Perbedaan waktu keberangkatan KA Matarmaja Lebaran dengan KA Matarmaja regular adalah 2 jam. Waktu yang cukup sebenarnya untuk tidur. Namun karena ramai saya mengurungkan niat. Lama menunggu membuat saya yang saat itu baru kenal dengan Nanunk dan Awal memulai percakapan ringan. Jujur, awalnya saya mengira mereka berdua lebih tua dari saya, namun setelah berbicara panjang lebar ternyata mereka seumuran. Jadi tidak sungkan lagi.

Jam 4.30 KA Matarmaja Lebaran datang. Tak diduga dan tak disangka, kereta begitu sepi dari hingar bingar manusia, kami pun sampai memilih tempat duduk sesuka hati.
Gerbong Matarmaja Lebaran. Sepi.
Perlahan namun pasti KA Matarmaja Lebaran meninggalkan Jakarta, semburat orange mulai menghiasi langit dan berubah menjadi hitam. Kereta berjalan sangat perlahan. Tak ada keramaian kecuali saya dan teman – teman baru yang saling bertukar cerita. Tak sabar menunggu untuk sampai di Cirebon, akan ada satu teman lagi yang ikut bergabung bersama kami.

      Menjelang malam kereta ini mulai memperlihatkan gelagat anehnya. Jam 8 malam seharusnya kereta yang kami tumpangi sudah sampai di Cirebon, namun nampaknya kereta ini terlalu baik, banyak sekali mengalah terhadap kereta-kereta bisnis dan eksekutif, yang membuat keringat ini mengalir deras adalah saat mengetahui bahwa kereta ini sudah dua kali berganti lokomotif, padahal perjalanan belum ada setengahnya. Apakah benar penumpang di kereta ini di anaktirikan? Pelayanan seperti ini sungguh tidak baik. Saat keringat masih mengucur dengan deras, banyak diantara kami yang tertidur. Saya masih belum bisa tidur walaupun akhirnya tertidur pulas.

Tengah malam saya terbangun, mendengar begitu banyak para pedagang nasi rames dan disaat yang sama banyak sekali penumpang yang naik kereta ini, entahlah saat itu kami sedang di stasiun mana, saya ingin kembali tidur dan yang lainpun nampaknya tertidur sangat lelap. Hanya saja nampak dari jendela kereta yang saya tumpangi dua orang anak muda menggendong keril besar dan yang satunya menenteng tenda lafuma kuning. Mungkinkah dua orang ini rombongan kami? Karena setahu saya yang akan ikut dalam rombongan kami memang 6 orang, 4 orang dari Jakarta, 1 orang dari Cirebon yaitu Fajar dan 1 lagi Tokek Baso akan bertemu di Malang, dan nantinya akan bertemu dengan rombongan besar yang sudah lebih dahulu sampai di Tumpang.

Tak lama Fajarpun menaiki gerbong kereta yang saya tumpangi. Inilah uniknya OANC, OANC disaat seperti ini seperti tanda pengenal. Karena begitu Fajar menyebut Nanunk OANC dan saat itu juga dalam keadaan mengantuk saya mengiyakan. Segera saya bangunkan Nanunk untuk memastikan bahwa Fajar inilah yang dimaksud.

Namun disini Fajar membawa seorang teman yang baru dikenalnya, Juned. Orang yang bernama Juned ini ternyata teman kenalan Fajar saat di stasiun, yang menurut Fajar, Juned menghampirinya ketika Fajar sedang asik menunggu kereta. Juned dari awal sudah aneh kalau menurut saya, karena dia membawa keril amat besar dan tinggi namun masih menenteng tenda lafuma kuning. Dan yang membuat aneh serta tersenyum geli ketika kami sedang membicarakan perizinan yang sudah diurus oleh rombongan Surabaya, ternyata si Juned belum mengurusnya, okelah tidak masalah namun dia juga tidak membawa serta tanda pengenal apapun, baik itu KTP, SIM, KTM atau yang lainnya. Tengah malam kami terpingkal-pingkal sampai tertidur oleh ulahnya dan kita lihat saja esok yang terjadi.

Sebatas cakrawala hanya sawah membentang, pagi itu begitu cerah, namun sampai di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur saja belum. Kami sudah tidak bisa lagi menunggu, sudah banyak gaya yang kami lakukan di dalam gerbong, kosakata kami seakan lenyap ditelan lamanya perjalanan.
Bosan.
Saat itu di stasiun Semarang lamat – lamat terdengar KA Ekonomi Matarmaja Lebaran berubah nama menjadi KA Ekspress Matarmaja Lebaran. Entah tujuannya mungkin ingin membuat hati kami para penumpang menjadi gembira, namun tidak dengan saya. Matarmaja melesat begitu cepat sampai tiba di perbatasan Jawa Timur, di provinsi ini kereta berhenti di setiap stasiun, semakin lama saja perjalanan kami.
Bosan dalam gerbong
 Jauh di Tumpang sana rombongan Clara dan yang lainnya menghubungi Angga dan  Nanunk untuk memastikan keberadaan kami, dan sampai pada titik kejenuhan, Clara dan kawan lainnya dari Surabaya memutuskan untuk mendaki lebih dulu dan bertemu di Ranu Kumbolo esok hari atau di Kalimati. Kita lihat saja nanti.

Ekspress Matarmaja terus melaju dengan perlahan menuju Malang, matahari selalu mengiringi keberadaan kami diatas kereta, mungkin mataharipun bingung sejak bertemu kemarin siang hingga sore ini kami tetap setia berada di dalam kereta ini dalam kebosanan yang amat sangat.

Mejelang matahari kembali keperaduan kami tiba di stasiun Malang, di sana sudah menanti Tokek Baso yang sejak siang menunggu kedatangan kami, ia adalah personel dari yang kami terakhir dari kloter dua yang sayapun baru mengenalnya. Sejujurnya saya belum mengenal sama sekali rombongan pertama yang sudah lebih dulu menikmati tanah Semeru. Kami sepakat untuk bilas terlebih dahulu, sambil menunggu Juned yang sedang kebingungan akan tingkahnya. Istirahat hingga magrib menjelang, sesaat setelahnya kami mulai meninggalkan stasiun Malang. Dengan berat hati Juned, teman seperjuangan Fajar yang saat itu bertemu di Cirebon kami tinggal, karena tidak ada kejelasan sama sekali.

Lantai Dingin Ranu Pane
            Setelah magrib kami melanjutkan perjalanan menuju pasar Tumpang dengan menyewa angkutan umum dan harga yang terjangkau, mengingat perjalanan yang cukup jauh. Selama perjalanan kami kembali beristirahat, menikmati sepinya jalan di kota Malang.

            Sesampainya di pasar Tumpang, sebagian dari kami ada yang membeli logistik yang perlu sebagai penambah tenaga, mengingat kami akan menambah hari kami di Semeru nantinya. Dan sebagian lagi menanti Jeep yang akan mengantarkan kami menuju Basecamp Ranu Pane.
Pos Pengelolaan Taman Nasional, Dephut
Jeep yang mengantarkan kami ke Ranu Pane. Clara.
            Jeep membawa kami menuju Ranu Pane. Melewati kebun apel yang merupakan ikon khas Malang sebenarnya menarik, hanya saja saat itu sudah malam, dan udara begitu dingin. Saya hanya bisa menerka dengan IR di mata saya bagaimana luasnya kebun Apel itu. Namun, perjalanan menuju Ranu Pane bukan hanya itu, kami disuguhi pola jalanan aspal yang rusak dengan jalan dan berliku di tengah gelapnya malam. Terkadang melewati perkampungan yang ada di Taman Nasional, kemudian hutan dengan jurangnya, kami di dalam Jeep bagaikan mainan yang sedang dibawa pengemudinya menikmati offroad malam hari ditemani taburan bintang yang sangat mempesona di langit sana. Cerah. Seru. Dingin.

Entah berapa lama perjalanan kami dari Pos Pendaftaran menuju Ranu Pane, saya terpaku pada hamparan bintang di langit sana, tak tahulah yang lain, mungkin menikmati perjalanan yang mengocok perut.

Ranu Pane, malam itu begitu ramai oleh para pendaki yang baru saja mendaki Semeru maupun yang akan mencumbui Semeru malam ini atau esok seperti kami. Perizinan di Pos Ranu Pane telah diurus oleh rombongan pertama, kami hanya tinggal melapor ulang dan kemudian mulai mendaki. Kami bermalam di Ranu Pane.
Angga
Awalnya ingin mencoba basecamp Ranu Pane di bukit di depan pos pendaftaran, namun karena sudah lelah dan gelap kami memutuskan untuk tidur di depan pos. Di lantai putih dingin yang telah dilapisi matras, memakai jaket, sleeping bag digelar dan mulailah satu per satu dari kami tertidur. Angin saat itu bersahabat, mungkin ia tahu malam itu Angan akan bermalam di Ranu Pane. Kami akan bangun sebelum subuh.

Ranu Pane – Lendengan Dowo – Watu Rejeng – Ranu Kumbolo
Angin semilir dingin merasuki sleeping bag saya hingga jaket double pun tembus. Dini hari saya melihat Angga sedang membuat sarapan ditemani Awal dan Fajar, sementara Nanung dan Tokek masih terlelap. Saya yang tidak terbiasa makan dini hari kecuali saat puasa rasanya enggan untuk makan. Coklat menjadi pilihan saya untuk mengisi energi. Semoga cukup.

Perlahan kabut yang berada di Ranu Pane naik, langit biru mulai tampak walaupun saat itu masih jam 5.30. Matahari dengan sedikit mengintip dari balik punggungan menampakkan ke anggunannya. Kami siap untuk menapaki jalan setapak menuju Mahameru.
Pagi Ranu Pane
Selamat Mendaki
Jalan beraspal dari Ranu Pane menghantarkan kami menuju jalan setapak. “Selamat Mendaki” tulisan itu terutis di sebuah papan kayu di ujung jalan setapak di awal jalur pendakia, membuat nyaliku sedikit menciut. Betapa gagahnya tulisan itu entah sudah berapa banyak pendaki yang ia sapa. Perlahan kami mendaki jalurnya cukup jelas, dengan saya di rombongan ke dua bersama dengan Awal dan Tokek sedangkan Angga, Nanunk, dan Fajar lebih dulu karena kami telah sepakat mengingat saat itu Tokek rasanya tak mungkin untuk jalan cepat. Saya sudah berpisah dengan Angga sejak Pos 1, dengan harapan Angga dapat bertemu dengan rombongan Clara di Ranu Kumbolo sebelum siang
Pos 1
Selama perjalanan saya menemani Awal di belakang untuk memberikan kesempatan kepada Tokek berjalan sejauh mungkin barulah kami berdua menyusul. Di jalur ini Watu Rejeng yang dimaksud terlihat jelas, dan Lendengan Dowo saya tak tahu itu ada dimana dan berbentuk apa. Jalur landai yang pasti naik dengan perlahan ditambah seringnya beristirahat membuat lutut saya kelelahan lebih awal, dan ini pertanda buruk. Tokek masih saja jalan perlahan yang dengan langkah kecil dan sesekali berhenti. Saya sudah tidak bisa menunggu di belakang, tak sanggup. Memang tidak terbiasa menjadi swipper. :)

Setelah Pos 2 dan saya memutuskan untuk jalan perlahan di depan, Tokek di tengah dan Awal tetap di belakang. Saya sudah berjalan amat perlahan namun menjelang pos 3 yang terjadi justru Tokek dan Awal sama sekali tidak terlihat di belakang saya, mungkin jaraknya sangat jauh. Sepertinya iya. Saya beristirahat sebentar di sini, menunggu sendiri. Setelah 10 menit menunggu Tokek dan Awal tak juga datang saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, berharap dapat mengejar Angga, namun ternyata tidak. 
Watu Rejeng
Tepat di belakang pos 3 jalur tiba-tiba menanjak curam, untungnya pendek, kalau panjang mungkin saya langsung drop. Setelah tanjakan ini jalur kembali landai, tetap sama, menanjak perlahan dan jauh. Sesekali bertemu dengan rombongan pendaki lain sambil mengamati apakah saya bisa bertemu dengan teman saya yang awalnya ingin mendaki bersama. Dan saya sendiri berjalan perlahan. Siaga setiap ada pergerakan apapun, sesekali tentunya isitirahat sambil menunggu datangnya Tokek dan Awal.
Jembatan Kayu, saya tertidur cukup lama di sini :)
Tak jauh dari tempat saya beristirahat langit biru dihadapan sudah terbuka dengan sangat jelas, dari tempat saya duduk saya melihat jalur itu terputus diujung, mungkin nantinya berbelok. Kita lihat saja nanti. Saya masih menunggu dan sempat tertidur.

Kaget karena adanya bunyi aneh di rerumputan saya terbangun. Tokek dan Awal belum menampakkan batang hidungnya, saya melanjutkan perjalanan. Perlahan saya menapaki jalan setapak mencoba mendekati ujung jalur yang langit birunya terlihat jelas. Angin bertiup begitu sejuk, saya medekati ujung jalur itu. Dan, ahh.. Mahameru menampakkan kejutan pertamanya. Ranu Kumbolo di hadapan dengan airnya yang berwarna biru dikelilingi bukit – bukit hijau nan menawan dari atas sini. Romantis.
Ranu Kumbolo
 Baru saja saya bersitirahat agak lama sebelum ujung jalur ini, namun saya ingin beristirahat lagi. Saya duduk di pinggiran jalur agak menjorok ke sebelah kiri hingga pandangan saya menatap Ranu Kumbolo dari atas sini dapat terlihat dengan jelas. Saya menikmati tiap hembusan angin yang menyapa wajah dengan lembutnya.
Bukit Hijau Ranu Kumbolo
Bukit Hijau Ranu Kumbolo
Ranu Kumbolo adalah sebuah danau yang terletak di ketinggian 2400 mdpl. Merupakan bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, adalah sebuah oase cantik yang memanjakan pandangan mata selama jalur pendakian menuju Puncak Mahameru.

Puas melihat Ranu Kumbolo dari atas sini saya ingin rasanya menyapa air danau itu. Segar nampaknya. Jalur menuruni punggungan kemudian melewati pinggiran danau dan sesekali mengambil gambar, adalah alasan lain jika tidak mau dikatakan beristirahat. Setelah puas menikmati air di pinggiran danau saya segera mencari keberadaan Angga, Nanung dan Fajar yang pasti sudah lebih dulu sampai di sini. Mereka berada dekat bangunan yang katanya biasa dipakai para porter untuk bermalam. 1 jam perbedaan saya dengan Angga untuk sampai di sini. Mereka agak kebingungan karena saya sendiri. Saya menjelaskan dengan gamblang tentang yang terjadi dan mereka memaklumi.
Ranu Kumbolo

Makan siang di pinggiran danau dengan langit biru dan angin yang bertiup sepoi membuat suasana begitu damai. Istirahat saya gunakan sebaik-baiknya untuk merekonstruksi lutut saya yang bermasalah. 1 jam setelah saya beristirahat sampailah Tokek dan Awal dengan muka yang kusam. Maafkan saya Awal, kalau saya tetap di belakang Tokek mungkin saya tak akan bisa meneruskan perjalanan. Dan saya mendapat tambahan istirahat 1 jam lagi di Ranu Kumbolo. Tenang.

Tanjakan Cinta – Oro-oro Ombo
Setelah dzuhur dan puas menikmati Ranu Kumbolo perjalanan kami lanjutkan. Berdasarkan deskripsi dari sebuah buku, track selanjutnya adalah Tanjakan Cinta, saya masih belum sadar bahwa tanjakan cinta sudah ada di hadapan. Sepintas tanjakan ini seperti tanjakan biasa tidak terlalu curam, mungkin karena efek bukit di sebelahnya. Tanjakan ini seperti cerukan.
Tanjakan Cinta
Angga menjadi peserta pertama yang menjajal tanjakan tersebut, jauh di depan sana, saya masih melatih lutut saya sambil sesekali menggoda Angga dengan berbagai teriakan. Fajar, Awal dan Nanung menjadi penantang berikutnya, saya dibelakang menanti Tokek. Mitos disini adalah terus mendaki tanpa melihat ke bawah lagi maka segala mimpi tentang cinta kita akan terwujud. Dan hanya Allah yang tahu siapa pencari cinta yang berhasil melewati tantangan Tanjakan Cinta ini.
Tanjakan Cinta
Tanjakan ini ternyata tidak selandai pandangan mata, kenyataannya membutuhkan waktu 15 menit menaiki tanjakan ini hingga ke ujungnya, sambil bergumam saya membayangkan rupa oro-oro ombo yang begitu magis. Saat itu saya masih menyemangati Tokek yang menjadi peserta akhir yang melewati tantangan tanjakan cinta, tanpa sadar di belakang saya terdapat padang ilalang yang sangat luas. Oro-oro Ombo.

Berjalan sedikit menanjak, kemudian Mahameru menampakkan kejutan keduanya. Berturut-turut. Seluas mata memandang, seluas itu pula ilalang terbentang. Dikelilingi bukit – bukit kecil ilalang itu nampak seperti rumput di lapangan yang maha besar. Disini saya melihat dua kejutan yang sangat kontras. Ranu Kumbolo dengan banyu birunya yang romantis, dan oro – oro ombo dengan pandang ilalangnya yang magis.
Ranu Kumbolo
Oro - Oro Ombo
Dari sini kita akan membelah ilalang yang luas terbentang. Bisa melewati pinggiran bukit de sebelah kiri, atau lurus menuruni bukit tepat saat ini saya berdiri. Keduanya mempunyai ujung yang sama, padang ilalang.  Matahari begitu terik bersinar, sesekali angin berhembus perlahan menggoyang ilalang yang seakan memanggil kami dari bawah sana untuk segera mencumbunya. Aih, inilah Afrikanya Indonesia. Cantik.
Lewat Punggungan


Oro - Oro Ombo
 Kami menuruni bukit ini dengan mengambil jalan lurus ke bawah, sampai akhirnya jalan setapak ini membelah padang ilalang yang sangat luas. Teriknya matahari ini sangat mungkin membakar kulit kami, angin sepoi seakan tak berarti di sini, di padang ini kami seperti di dunia lain. 
Oro - Oro Ombo
Oro - Oro Ombo
 Saya melihat sekeliling, seperti berada diantara benang – benang ilalang raksasa setinggi pinggang orang dewasa. Kami menyusuri jalan setapak yang membelah padang. Kamera kami tak henti – hentinya mengambil gambar Afrika Indonesia yang sangat jarang kami temui. Langit begitu biru, matahari sangat menantang dan Mahameru terlihat di ujung pandangan. Jiwa kami terpanggil untuk memulai tantangan baru.

Tak banyak obrolan yang terjadi disini, hanya gerakan tangan yang sibuk mengambil gambar sampai pada akhirnya kami tiba di ujung jalan setapak padang ilalang. Di depan kami terhampar hutan rapat nan hijau. Sejuk. Cemoro Kandang.
Oro - Oro Ombo dari Cemoro Kandang
Cemoro Kandang – Blok Jambangan – Kalimati 
Sebelum melanjutkan perjalanan kami beristirahat sejenak di perbatasan padang ilalang dan hutan rapat di hadapan. Sekedar meluluskan kaki yang dengkul ini mulai terasa tidak pada tempatnya. Saya lelah semuanya juga lelah.
Sejenak di Cemoro Kandang
 Terik siang itu dapat teratasi dengan rimbunya pepohonan di Cemoro Kandang. Jalur yang landai namun lama kelaman menanjak membuat rotasi perputaran lead dan swiper betukar tempat. Hingga pada akhirnya sayalah yang paling belakang. Kali ini bukan karena mau jadi swiper tapi memang saya ingin di belakang agar tidak merasa diburu-buru oleh teman yang lain.

Dengkul kiri saya rupanya mulai menampakkan gelagat tidak baik. Sakit sekali, untunglah saya di belakang dan tepat di depan saya Awal mendampingi. Sesekali kami memulai obrolan ringan agar menghidupkan suasana hutan ini. Seperti hutan mati. Tak tahulah di depan sana mereka jauh atau tidak, selama masih ada Awal dihadapan, saya aman.
Cemoro Kandang
Mahameru sedang panen pendaki. Entah sudah berapa kali saya bertemu dengan pendaki lain yang baru saja menggapai Mahameru, kesemuanya mengatakan hal yang sama ketika kami bertanya letak kalimati. “1 jam lagi dari sini.”, “ satu setengah jam lagi juga sampai.” Semuanya mengatakan waktu yang hampir sama. Saya tidak percaya.

Sadar atau tidak sejak saya bertemu dengan para pendaki di bawah sana saat memasuki Cemoro Kandang semuanya mengatakan hal serupa. Padahal kita akan terus berjalan, logikanya waktu tempuh akan menjadi berkurang ketika kita sudah mencapai jarak tertentu, namun ini sebaliknya, jalur dan waktu tempuh seakan sama dimanapun letak kami bertanya. Akhirnya saya memutuskan hanya saat itu, saya tidak percaya dengan pendaki Indonesia. Mereka mempermainkan semangat.

Kami berjalan di jalan setapak yang rupanya hampir sama, entah mengapa. Hanya beda belokan, lurus terus atau menanjak, sedikit sekali turunan. Ah, lebih baik tak ada turunan disaat dengkul ini sedang tidak enak diajak bekerjasama. Saat sedang asik berjalan saya menemukan papan bertuliskan Blok Jambangan tergeletak di tanah. Saya tak tahu yang mana lokasi Blok Jambangan tersebut, saya juga bingung apakah parade Cemoro Kandang sudah berakhir atau belum, yang jelas di hadapan saya ilalang kecil ditemani dengan edelweis setinggi pinggang orang dewasa sudah menyapa dengan hangat.
Blok Jambangan
Edelweis dan ilalang kecil mengarahkan kami ke arah kiri, dari sini Mahameru sudah tertutup awan. Melewati sedikit hutan, kemudian ilalang kecil dan edelweis. Kamera saya sempat terjatuh di sini, saya tidak sadar. Beruntung saat sedang beristirahat di jalur, kamera saya ditemukan oleh Tokek dan Awal. Kami melanjutkan perjalanan menuju kalimati bersama-sama. Dengkul saya butuh istirahat.

Jalur setapak seakan tak ada habisnya. Sampai kami tiba di sebuah padang rumput yang sangat luas. Dari kejauhan banyak sekali tenda warna – warni berdiri. Inilah Kalimati. Segera saya mencari rombongan Angga, Fajar dan Nanung yang pasti sudah lebih dulu sampai dan bertemu dengan rombongan pertama Clara CS. Saya seperti titik kecil ketika mencari dari kejauhan. Kalau saja saya tidak mengenali bentuk badan Angga yang sedikit gempal mugkin saya akan salah memanggil orang akibat tidak memakai kacamata.
Kalimati
Menjelang jam 5.30 sore saya bertemu dengan rombongan Clara CS yang sudah lebih dulu mendirikan tenda, kami segera mencari spot terbaik untuk mendirikan tenda. Hari semakin gelap, dingin sudah mulai merasuk. Tenda berdiri, makan malam siap disajikan, kemudian segera istirahat.

Kalimati
         Di dalam tenda saya bersama dengan Angga dan Awal terlibat perbincangan yang hangat mengenai perjalanan tadi pagi hingga sampai di Kalimati. Kami sepakat setelah mendapat persetujuan teman – teman yang lain untuk menunda mengunjungi Mahameru malam ini karena keadaan rombongan kami yang dari Jakarta sangat kelelahan. Kalau untuk saya ini merupakan moment untuk mereparasi dengkul sekaligus aklimatisasi cuaca agar terbiasa. Selain itu Angga dan Awal juga menerangkan tentang kelistrikan dan saya hanya sebagai pendengar yang baik dan sesekali bertanya. Malam itu di dalam tenda kami berkeringat hingga terlelap.
        
        Dini hari mungkin sekitar jam 1 malam suara gaduh para pendaki terdengar di luar tenda, mereka ingin mengunjungi Mahameru. Salah dua dari kelompok besar OANC yaitu om Indra dan om Rifki akan melakukan pendakian ke puncak hari ini, mereka lebih dulu, karena hari berikutnya pekerjaan besar menunggu mereka di dataran rendah. Saya hanya mengamati lewat pendengaran di dalam tenda saja, tidak berani keluar takut dingin. Saat itu cuaca sangat cerah, karena sinar bulan dapat tembus ke dalam tenda. Kembali terlelap setelah keriuhan di luar tenda mereda.
          
          Kalimati yang terletak di ketinggian 2700 mdpl merupakan padang rumput luas dengan edelweis yang tumbuh di sela-sela kemudian dikelilingi hutan hijau dan Mahameru dihadapannya. Sumber air di Kalimati ini terletak 15 menit perjalanan dari tempat kami membuat camp, Sumber Mani
Mentari Kalimati
       Di kalimati kami akan menghabiskan waktu seharian. Pagi ini kami memulai dengan membuat sarapan, mencari sinar matahari untuk menghangatkan badan dan sesi perkenalan diri yang terjadi begitu saja. Kami kenal secara tidak langsung dan hangat, serta tak lupa kami berolah raga mengunjungi Sumber Mani. Mereka adalah Nesa, Wawo, Yudi dan Clara sendiri sebagai perempuan satu – satunya di rombongan ini.
     
          Kalau dari tempat camp kami, sumber mani terletak di sebelah kanan menuruni lereng. Begitu sampai di sumber mani suasana begitu eksotis, seperti berada di dunia lain, dunia yang telah hilang. Pasir bertaburan di mana – mana, sedikit sekali pohon yang menaungi dan saya rasa ini adalah sungai yang kering bila lahar semeru tak mengunjunginya. Sumber mani sendiri adalah sebuah tembok lumut diantara pasir yang mengelilinginya, oase. Rembesan air dari pohon yang terletak di atas sana membuktikan bahwa pohon dimanapun itu berguna untuk menyimpan cadangan air, walaupun hanya setetes. Kamera tak henti-hentinya memotret areal sumber mani. Angin disini begitu kencang, padahal saat itu sudah hampir tengah hari.
Sumber Mani

Sumber Mani

Sumber Mani

Sumber Mani
        Setelah dirasa cukup mengambil persediaan air dari sumber mani, kamipun kembali ke camp, dan mulai bereksperimen dengan masakan – masakan absurd tetapi enak untuk dimakan, jarang sekali saya makan lahap di gunung bila masakannya aneh.
Sumber Mani
Dari Sumber Mani Menuju Kalimati
Tengah Hari yang Dingin, Eksperimen Makanan
       Menjelang sore hujan deras mengguyur Kalimati, disaat yang sama pula banyak pendaki yang sampai di sini. Ada yang segera menuju Arcopodo atau banyak juga yang menetap di Kalimati. Banyak aktivitas di dalam hujan yang lamat-lamat mereda. Udara dingin segera merasuk begitu hujan mereda, namun saya masih percaya teori yang mengatakan setelah hujan udara akan menjadi hangat. Hingga malam tak banyak yang kami lakukan, makan dan istirahat mempersiapkan diri untuk bertemu Mahameru yang hanya tinggal hitungan jam saja.

Mahameru, Puncak Abadi Para Dewa 
Rintik hujan masih saja membasahi bumi Kalimati, dan saya yakin membasahi seluruh kawasan TNBTS. Saya terbangun dari tidur hangat di dalam tenda. Suasana riuh segera menjalar. Malam ini kami akan menuju Mahameru, kecuali Tokek.

Bulan purnama begitu cantik diatas sana, Mahameru sesekali tertutup awan tebal, masih di Kalimati saya mengamati sekitar. Bergitu gelap, begitu mencekam. Kami menjadi rombongan pertama yang akan berjalan menyusuri gelap malam, melewati hutan menuju Arcopodo melintasi lereng sampai di Cemoro Tunggal dan sampailah di Mahameru. Urusan nanti saya belum mau berspekulasi. Menguatkan hari untuk perjalanan indah ini.

Tepat jam 11 malam sorot lampu senter Nesa membelah kegelapan hutan malam itu, ia yang memimpin perjalanan malam ini, saya di tengah melepas kacamata untuk menghindari kabut pada kacamata yang saya baru tahu ternyata itu bunga es. Perlahan kami menyusuri jalur yang gelap luar biasa, pandangan saya tertuju pada langkah kecil kaki ini yang terus menapakkan pada tanah – tanah basah. Sesekali napas kami terengah – engah, berhenti sebentar untuk sekedar menenangkan jantung yang berdetak semakin cepat, gerah. Ingin rasanya melepas jaket saat itu, apakah mungkin saya kehilangan suhu panas? Saya mencoba menenangkan diri, tak ada yang tahu. Berkali – kali saya mencoba untuk melepaskan jacket yang menempel, namun saya berhasih menguasai pikiran saya, saya meraih kesadaran dengan penuh begitu sampai di Arcopodo. Saya minta istirahat sejenak.

Jalur menuju Mahameru sama sekali tidak ada bonus, berdasarkan perkataan teman – teman satu tim ini seperti jalur Linggar Jati di Ciremai sana, kalau saya tidak bisa bilang apa – apa karena masih mengendalikan pikiran dan saya tidak mau berbicara macam-macam apalagi membandingkan, saya terdiam.

Angin dingin Arcopodo menghembus pelan, membelai wajah saya dan tentunya teman – teman yang lain. Sesekali saya mendongak ke atas dan terlihatlah jutaan bintang dan bulan dengan sangat cantik menyaksikan puluhan anak manusia hendak mencapai tujuan impiannya di tanah Jawa. Desir suara angin di dedaunan yang saling bergesekkan terdengar seperti alunan keindahan yang tiada duanya. Kami teruskan pendakian.

Jalur seakan menyempit, seperti berada di ujung hutan dan terlihat rantai dengan tonggak – toggaknya yang saling terhubung membuat saya mendongak keatas, sebuah gundukkan pasir besar tepat dihadapan saya dan Mahameru di ujung paling atas dari gundukkan ini. Saya menghela nafas. Pendakian yang sebenarnya akan segera di mulai.

Senter dari masing – masing dari kami mencari pijakan yang cukup untuk mendaki. Pasir Mahameru begitu lembut dan sedikit sekali batu yang bisa di pijak. Naik lima langkah, turun merosot lagi dua langkah, membuat pendakian ini cukup menguras tenaga. Tiupan angin dengan dinginnya udara membuat saya terbuai, beberapa kali saya sempat ingin tertidur.

Entah formasi seperti apa yang terjadi saya pun lupa, tiba – tiba saya berada paling depan dan terus mendaki. Batu – batu kerikil terus berjatuhan walaupun langkah saya sudah sangat hati – hati. Teriakan kecil dari bawah sana terus merongrong meneriakkan “Batu, batu..” saya bukan tak mau menjawab, tetapi yang lebih penting adalah melangkah dengan sebaik mungkin untuk menghindari batu besar yang tak sengaja terinjak nantinya. Langkah kaki terus menerus menyusuri pasir ini, tenang.

Senter terus menerus menyinari bergantian dengan bintang di atas sana, tanpa sadar saya salah mengambil jalur. Seharusnya ke kanan saya mengambil jalur ke kiri. Saat itu hanya saya, Awal dan Nanung, sedangkan yang lainnya sudah mengambil jalur ke sebelah kanan. Jalur dihadapan saya begitu curam, tak ada pasir yang baik untuk dipijak. Saya harus membuat pijakan terlebih dahulu, baru kemudian dengan membaca asma Allah dan surat – surat pendek dengan sedikit berlari cepat saya menaikki pasir itu dan berhasil, begitupun dengan Awal dan Nanung. Kami melihat rombongan di bawah kami cukup jauh mengarah ke sebelah kanan, kami masih harus melompati sebuah punggungan lagi. Untungnya punggungan itu tak begitu lebar, tetapi sekali tergelincir pasti jatuh, paling tidak luka ringan akan di dapatkan, itupun belum termasuk bebatuan yang rapuh ikut terbawa.

Setelah kami bertiga kembali di jalur yang benar dan bergabung dengan rombongan lain, tak jauh berselang kali ini serombongan salah jalur semuanya. Kami seharusnya melewatu cekungan di sebelah kanan, namun yang terjadi kami melewati sebelah kiri. Kali ini untungnya hanya meloncati punggungan yang tidak begitu tinggi dan pasir disekitarnya cukup padat sebagai pijakan. Saya meloncati pertama sebagai yang paling kurus, selanjutnya diikuti Nanung dan Awal. Saat saya sedang menunggu teman – teman yang lain ada sekelompok pendaki  -yang akhirnya saya tahu bahwa merekalah yang meneriaki saya “Batu, batu..” saat di bawah tadi- yang meloncati punggungan dengan sebelumnya saya sudah peringatkan bahwa batu yang nampak kokoh itu rapuh dan jangan di pegang apalagi buat tumpuan, namun yang terjadi seorang pendaki menumpukan berat badannya pada batu dan jatuhlah batu itu. Sangat besar untuk menghantam kepala manusia di bawahnya, saya berteriak. “Batu besar jatuh..” dan diikuti suara sautan teriakkan pendaki lain. Saat itu ternyata hampis saja mengenai kepala dari salah seorang dari rombongan saya. Sungguh, ketika batu itu jatuh saya kesal luar biasa dengan pendaki itu, kelalaiannya yang tak mau mendengarkan saran orang lain itu bisa membahayakan pendaki lain. Lebih bahaya dari kerikil yang terjatuh tidak sengaja dari langakah-langkah kecil yang lain.
Cemoro Tunggal, Tumbang
Sesaat setelah rombongan kami meloncati punggungan itu saya segera mendaki kembali. Langit sudah mulai cerah walaupun matahari belum menampakkan sinarnya. Bintang masih setia menemani dan angin sepoi kembali menyapu wajah menjernihkan pikiran untuk kembali menggapai Mahameru.

Entah sudah sejauh mana saya mendaki yang jelas puncak Mahameru sudah begitu dekat dari pandangan namun tak sedekat ketika langkah ini terus berjalan. Kali ini matahari sudah mulai mengeluarkan sinarnya di ujung cakrawala. Saya ingin segera mendapatkan momen indah ini dari puncak sana.

“Puncaakk.. “ teriakan Nanunk dari atas sana membangunkan lamunanku yang sedang asik mendaki mencari – cari pijakan sejati di pasir. Ketika itu pula saya mendongakkan kepala dan saya bisa melihat Nanung melambaikan tangannya. Begitu dekat, saya melihat ke bawah cukup jauh jaraknya dengan yang lain. Saya tetap mendaki sesuai dengan kemampuan. Saya berjalan kembali melihat ke arah pasir yang nampak tak ada habisnya.

“Dan.. Ah, saya tiba di Mahameru” seperti berbicara sendiri namun nampaknya memang hanya saya sendiri yang mendengarnya. Saat itu saya melihat Nanung menghampiri kemudian menjabat tangan saya. Seketika itu juga saya benar – benar tersadar saya sudah sampai di Mahameru.
Kawah Jonggring Seloko

Batuan Mahameru
OANC Bersama
Waktu seakan berhenti ketika kaki ini berpijak di tanah tertinggi Jawa. Dataran pasir berbatu luas seperti sebuah papan besar menjulang indah di ketinggian menggapai langit, di sekeliling awan – awan menemenai dan berganti dengan birunya langit. Matahari bersinar malu – malu di timur dan satu persatu dari OANC sampai. Kami berjabat tangan dan bersyukur. Angin bertiup lembut menyapa kami di Mahameru.

Di sini, di tempat tertinggi di pulau Jawa saya benar – benar merasakan indahnya sebuah pendakian. Ketika hadapan kami disuguhkan birunya langit dengan puncak – puncak gunung di kejauhan sana. Getaran gempa vulkanik yang sesakali menggoncang diikuti dengan asap putih yang membumbung tinggi dari Jonggring Seloka. Saya terpejam.
Sunrise Mahameru
Indonesia Raya
Kawasan Bromo dari Mahameru
Nesa, Great
Berkumpul
Rasa ini sulit diungkapkan, ketika dahulu saya berada di bibir kawah Bromo dan melihat gagahnya Mahameru, namun saat ini saya berada di Mahameru dan melihat cantiknya Bromo. Saya sangat terbuai oleh suhu 7˚C, terbuai oleh angin yang terus bertiup, terbuai ketika kami bernyanyi lagu kebangsaan Indonesia Raya, terbuai ketika saya menyentuh Merah Putih dan terbuai oleh canda tawa mahkluk Tuhan yang benama manusia. Di ketinggian ini kebahagian seperti terbang dan terpantul kembali. Tidak pernah terbang terlalu tinggi dari tanah ini, di pagi yang begitu indah ini, di tanah lapang ini saya terbuai.

Romantisme Ranu Kumbolo
          Tak lama kami menghabiskan waktu di Puncak, mengingat udara yang begitu dingin. Saya turun perlahan, saya perhatikan sepanjang jalur menuju Mahameru. Pasir hitam, Cemoro Tunggal yang tumbang, menyemangati para pendaki yang masih semangat untuk menggapai Mahameru, saya menikmati momen ini.
Cemara dari Jalur
      Barisan pohon cemara yang semalam tampak sangat menakutkan ternyata sedap dipandang jika angin ikut membelai di pagi ini. Inci per inci saya perhatikan sampai tiba saya di Arcopodo. Hanyalah sebidang tanah tak terlampau luas yang biasa dipakai untuk mendirikan tenda selain di Kalimati. Saya melanjutkan perjalanan saya menuruni punggungan menuju Kalimati. Tak membutuhkan waktu lama untuk mencapai Kalimati, sekitar 2 jam saja, berbanding terbalik saat semalam mengunjungi Mahameru. Siang nanti kami akan berkunjung ke surga Mahameru untuk itu begitu tiba sebagian besar dari kami segera beristirahat.
After Summit Attack
             Siang itu menjadi siang yang dingin sekaligus menyenangkan, sambil berkemas kami bercanda ringan dan membuat makan siang. Sekitar pukul 2 siang kami bergegas menuju Ranu Kumbolo setelah sebelumnya berfoto bersama di Kalimati dengan latar Mahameru. Indahnya.
OANC, Kalimati
          Awan menggelayut seakan menandakan hujan akan segera turun. Kami terus berjalan membelah padang rumput memasuki hutan dan beristirahat di Blok Jambangan. Tak lama kami di sini, mengingat awan hitam semakin kelam, kami melanjutkan perjalanan. Saat memasuki Cemoro Kandang hujan yang awalnya seperti kabut bertambah deras. Kami mempercepat langkah dan saya tertinggal dibelakang. Kamu tahu mengapa? Dengkul saya sangat sakit jika tertekuk. Saya berjalan perlahan dan tak lama sampailah di ujung pintu hutan yang menghadap Oro-oro Ombo. Kami beristirahat cukup lama disini.
          
            Hujan yang deras berganti menjadi rintik hujan yang sesekali datang. Melewati padang ilalang yang luas dengan pohon cemara di sekelilingnya mengingatkan saya akan film India. Biasanya dengan suasana seperti ini pasti sepasang kekasih sedang menari sambil bernyanyi. Romantisnya.
Hujan, Oro - Oro Ombo
Rintik Hujan

Ranu Kumbolo sesaat setelah hujan
                Gerimis disertai bayangan saya akan film India membuat perjalanan membelah ilalang tak terasa berat. Begitu tersadar saya sudah sampai di perbatasan surga. Ranu Kumbolo dan Oro – oro Ombo.
           
           Danau itu begitu indah sesaat setelah hujan membasahinya. Langitpun ikut memainkan perannya membuat Ranu Kumbolo menjadi begitu indah. Kami membuat tenda tepat dipinggir Ranu Kumbolo. Sore ini saya menghabiskan waktu di pinggir danau.
          
        Sambil membuat makan malam kami bercerita tentang sejuta potongan – potongan kebahagiaan yang tertinggal di setiap langkah kami menggapai Mahameru. Saat itu Tokek berjanji akan membayar hutangnya menggapai Mahameru, ia begitu kelelahan sehingga tidak bisa ikut bergabung.
Ranu Kumbolo

Entah hanya perasaan saya saja atau bukan, yang jelas malam itu di Ranu Kumbolo begitu dingin. Sampai – sampai saya dan Angga enggan untuk meninggalkan tenda kapasitas 5 orang milik Nanung. Sepakat untuk menetap di tenda ini akhirnya kami berenam tidur dalam satu tenda dengan berbagai macam gaya hanya untuk mendapatkan kehangatan di Ranu Kumbolo.
       
         Kabut pagi Ranu Kumbolo menyapa dengan senyumnya mentari yang begitu dingin. Saya melihat sekeliling danau ini. Saat itu saya benar – benar merasakan bermalam dan menikmati belaian kabut Ranu Kumbolo. Langit bermain dengan matahari melakukan kolaborasi cantik dengan bukit di sebelah timur Ranu Kumbolo sebagai panggung pertunjukkan, dan kami sebagai penonton sibuk mengabadikannya dengan kamera.
Kolaborasi Cantik
    Langit biru itu bertabrakan dengan merahnya awan yang kemudian berganti menjadi orange dan akhirnya awanpun menguap seperti uap air yang terbawa angin. Langit menjadi begitu biru cemerlang. Sinar perak mentari membuat kemilau pagi Ranu Kumbolo begitu romantis. Suasananya membuat semua orang lupa akan lelah pendakian kemarin dan esok menjelang.
Pagi Ranu Kumbolo
Kemilau Pagi Ranu Kumbolo
      Hingga menjelang siang kami asik dengan pemandangan di depan mata. Sebuah pemandangan yang sangat langka, bukit cinta dengan tanjakannya, danau yang begitu romantis Ranu Kumbolo. Siang ini kami akan meninggalkan potongan surga yang ada di Indonesia. Kami akan pulang.

Turun, Naik Gunung Ayek – Ayek
           Semua telah siap untuk turun gunung. Kami akan melewati jalur Gunung Ayek – ayek. Saya hanya mengikuti apa kata rombongan saja. Selama masih di Semeru saya percaya lewat manapun pasti pemandangannya indah.
         
          Jalur Gunung Ayek – ayek ini berada tepat di depan danau Ranu Kumbolo, melewati padang ilalang yang sangat luas, sangat indah. Saya kembali terbius oleh indahnya jalur ini. Menyusuri padang ilalang yang luas, mendaki bukit sampai akhirnya saya harus mendaki gunung tanpa ada tempat untuk menghela nafas. Istirahatpun dilakukan di jalur sambil berdiri karena tidak memungkinkan untuk duduk. Jalur ini cukup terjal. Saat bertemu tempat yang agak lapang kami beristirahat dan saat itu ketinggian mencapai 2800 mdpl. Pantas saja disebut Gunung Ayek – ayek, ternyata kami benar – benar harus mendaki gunung terlebih dahulu sebelum akhinya turun.
Menuju Gunung Ayek-ayek
 Jejaka OANC

Landscape Of Semeru
     Setelah istirahat cukup di tanah lapang yang sempit itu kami menuruni Gunung Ayek-ayek. Dengkul saya yang awalnya hanya kanan yang sakit kali ini kiri juga turut serta. Disinilah saya menyatakan lebih baik mendaki daripada turun gunung dengan keadaan dengkul tak bisa ditekuk. Sangat tersiksa.
Istirahat, Altar Ayek-ayek
Om Wawo dan Mas Yudi
Lelah, Altar Ayek-ayek
       Para pemilik dengkul racing sudah jauh berlari di depan sana, saya jalan tetap pada tempo tak mau memaksakan. Mereka sesekali menunggu saya di tempat yang cukup luas sampai akhirnya saya memutuskan agar mereka meninggalkan saya saja kebetulan Tokek juga tidak bisa berjalan cepat dan Om Yudi mau menjaga saya dan Tokek dari belakang.
  
          Sudah berjalan sejauh ini dengkul sama sekali tidak bisa ditekuk. Sakit. Saya berjalan semakin lambat jika jalur benar – benar curam menurun dan memperlebar langkah jika jalur lurus tanpa hambatan. Sampai pada saat memasuki ladang kami bertiga salah mengambil jalur. Seharusnya ke kanan tetapi kami lurus yang membuat perjalanan menuju Ranu Pane 
menjadi semakin jauh. Kami memutar bukit.
Ranu Pane
Kebun di desa Ranu Pane
      Tengah hari yang panas kami bertiga sampai di Pos Ranu Pane. Banyak pendaki yang berada disana mungkin mereka heran melihat kami bertiga, tak peduli. Sebagian dari kami sudah ada yang menuju rumah Pak Mul, pemilik Jeep yang kami tumpangi. Sebagian lagi seperti saya, Angga, Nesa, Om Yudi dan Tokek masih menunggu di dalam warung. Saya memesan makanan dan es teh yang ternyata pernyataan saya tentang es teh adalah hal terbodoh, karena di daerah dingin seperti ini pasti tidak ada es. Hujan turun membasahi kawasan Taman Nasional, kami berenam masih menunggu Jeep yang akan mengangkut kami.

          Jelang sore Jeep tiba, segera kami bergegas menuju rumah pak Mul. Selama perjalanan mata saya benar – benar dimanjakan oleh pemandangan yang sangat mengagumkan. Bukit teletubies milik Bromo terlihat begitu indah. Ladang – ladang dengan kemiringan yang ektrem pun tak luput dari pandangan. Begitu cantik.

Ketika kami berenam sampai di rumah pak Mul musik dangdut koplo suroboyoan menyambut. Suansa begitu hangat dan rasa kekeluargaan begitu berasa. Semua sudah bersih – bersih diri termasuk saya yang dengan sukarela mandi dengan air es dan sekarang tiba saatnya kami berpamitan dengan keluarga Pak Mul.
Bukit Hijau, Bromo
         Kami kembali diantar dengan Jeep menuju pasar Tumpang yang selanjutnya diteruskan dengan angkot menuju kediaman keluarga om Wawo di Malang. Malam ini kami ditemani Top Eiger kaskuser dari Malang yang rela menemani kami menikmati malam. Puas dengan suguhan Malang malam hari, esok kami akan kembali.
            
         Malam ini menjadi malam yang sangat spesial, dimana saya kembali mendapatkan detik, menit, jam, dan hari saya yang sempat hilang ketika berada di Semeru. Malam ini saya begitu bersyukur ketika kemarin saya disuguhi jutaan keindahan alam Indonesia yang menakjubkan. Bersama kawan, saya meninggalkan potongan kebahagiaan di setiap jengkal jalur yang saya lalui di Semeru hingga Mahameru melewati Gunung Ayek – ayek dan bermuara di romantisme Ranu Kumbolo. Semeru begitu cantik, suatu saat nanti saya akan kembali.
----------------------------
Foto : Clara, Antonius Heru a.k.a Wawo, Nanung, Angga, Angan

Terimakasih :
#Allah SWT yg telah memberikan kesempatan pada saya untuk menikmati indahnya Semeru
#Papa & Mama yang “tumben” dengan sangat mudah meminta izin untuk pergi jauh.
#Vidia
#Singgih, buat alat - alat masaknya, dan foto mu yang udah meracuniku.
#Ipin untuk pinjeman headlamp-nya. Sofhie untuk pinjeman sepatu.
#Anak - anak OANC : Nanunk, Toke Baso, Awal, Nesa, Clara, Om Wawo, Fajar, Mas Yudi yang rela nungguin gw jalan tertatih menuruni gunung ayek-ayek, Indra, Rifki, (the best lah) serta Top Eiger untuk teman keliling di Malang malam hari.. :))
#Pak Mul & Mas Dani, jeepnya rela menunggu ketidakjelasan kami, dan jamuan 'air hangat' sore hari.
#Sodaranya Om Wawo yang rela rumahnya diberantakin dan memberikan kami sesuap nasi di pagi hari.
Semuanya Terima Kasih ya..
Top of Form
Bottom of Form

1 komentar:

  1. Baguus jepretane..
    bulan natal 2011 kemarin kita juga ke semeru, tapi saya cuman ampek R.Kumbolo aja.. yg lain muncak mahameru. jadi ndak tau kondisi terbaru di atas. ternyata cemoro tunggal beneran dah tumbang.

    BalasHapus