Jakarta – Bali, 1 November 2010
Jalan ternyata bersembunyi di balik bukit, dan ah,, inilah kejutan selanjutnya. Jalur batu licin yang menanjak membuat saya harus ektra hati – hati dalam mencari pijakan. Terjatuh dengan konyol sambil membawa keril besar rasanya sangat tidak lucu terjadi. Setelah ini kita adalah pos 3 dengan aliran sungai yang perlahan mengering.
Ketika malam menjelang, Angga ternyata drop sampai tak bisa bangun. Mungkin kedinginan sekali. Hampir semua barang bawaannya terkena hujan hingga basah sampai kaos kaki dan sleepingbagnya pun basah. Saya yang saat itu sudah cukup hangat meminjamkan sleepingbag pada Angga. Untung ada sarung hangat yang menemani, selain itu juga Bram ikut dalam tenda kecil ini, cukup membantu proses penghangatan tenda.
Entah karena apa, sampai menjelang tengah hari tidak juga diputuskan kemana kita akan melangkah. Ditambah hujan membuat saya semakin bingung. Rupanya di luar sana mereka kembali mendirikan flysheet yang berarti akan menetap sehari lagi di Plawangan Sembalun. Saya manut.
Namun sesampainya di Pos 3 hujan yang awalnya gerimis turun dengan lebat. Jas hujan kembali dipakai. Setelah pos 3 sampai Desa Sembalun, saya di bagian belakang. Memang ingin menikmati saat terakhir kunjungan di Dewi Anjani ini. menikmati savana luas yang terguyur hujan begitu becek dan licin. Hujan baru berhenti saat kami sampai di batas jembatan menjelang persimpangan antara jalur resmi dan jalur memotong.
Terminal 2F Bandara Soekarno Hatta pagi itu sepi, nampak suram terkamuflase pagi temaram, saya duduk menunggu Garuda datang untuk mengantarkan saya ke Bali, hanya sekedar transit karena saya akan melanjutkan perjalanan menuju Lombok untuk kemudian berkunjung ke Rinjani.
Segara Anak dari Plawangan Sembalun |
Rinjani, gunung yang api aktif dengan ketinggian 3726 mdpl dilengkapi danau Segara Anak serta Gunung Baru Jari yang cantik ini terletak di Nusa Tenggara Barat, tepatnya di Pulau Lombok yang eksotis. Rinjani merupakan Gunung Api tercantik di dunia berdasarkan survei turis internasional dari tahun ke tahun. Belum ada yang menggantikan kecantikan Rinjani. Kalau menurut saya yang pantas menggantikannya mungkin Semeru di Jawa Timur.
Saya naik Garuda juga merupakan suatu kebetulan, saat di bulan oktober lalu ada promo GITF2010 yang membuat harga tiket maskapai ini turun drastis. Setelah menunggu 45 menit di gate, Garuda mengantarkan saya terbang menuju Bali. Saya duduk ditemani dua orang turis asing yang juga ingin ke Bali, sedikit perbincangan antara kami bertiga seputar Bali, Jogja dan Lombok, menyenangkan. Sekitar 1,5 jam saya terbang melayang dan sempat melihat abu gunung Merapi di kejauhan, saat itu Merapi memang sedang aktif. Saya akhirnya sampai di Bandara Ngurahrai, Bali.
Ngurah Rai Int Airport |
Anehnya di bandara ini saya disambut oleh para supir taxi dengan bahasa Mandarin, sesekali Inggris. Saya hanya tersenyum malu, baru di bandara ini saya merasakan seorang Tiongkok. Awalnya saya ingin menunggu kedatangan Ade Budiman, namun nampaknya Mandala yang ia tumpangi telat sayapun memutuskan untuk menyusul Angga dan Andre ke rumah sahabat baru saya di Denpasar, Karees.
Dengan menumpang ojek yang dengan tawar menawar cukup keji saya mendapatkan ojek yang cukup nyaman untuk berputar – putar kota Denpasar sebelum akhirnya saya diantarkan ke Lapangan Renon, saya akan dijemput oleh Karees di sini. Siang itu Lapangan Renon begitu ramai, saya mencari – cari keberadaan Karees dan ternyata ia membawa motor. Setelah bertemu kami langsung menuju rumahnya. Sesaat kemudian kami sampai, dan disambut oleh Andre, sedangkan Angga tengah asik dengan PC di hadapannya. Saya membasuh diri, melengkapi perbekalan dan istirahat. Nanti malam kami akan bertemu dengan rombongan lain di Terminal Ubung.
Magrib waktu Bali, Angga dikabari oleh rombongan yang telat datang dari Jakarta karena pesawatnya dellay sudah sampai dan akan langsung menuju terminal Ubung. Kami di rumah Karees segera bersiap untuk menghampiri mereka di terminal Ubung.
Keril siap, persediaan makanan lengkap, dan semuanya tak ada yang tertinggal kami menuju Terminal Ubung dengan motor diantar oleh Karees dan temannya. Sekitar 15 menit perjalanan kami sampai, dan tenyata rombongan yang digawangi oleh Ngguh sudah sampai lebih dahulu. Mereka nampaknya kelaparan, begitu bertemu mereka sedang lahap makan nasi padang di depan terminal. Selesai makan saya pun menghampiri setelah sebelumnya berbicara singkat dengan Ngguh di depan warung Padang. Mereka adalah Ade, yang tadinya kami mau ke Denpasar bareng, Rikky, Bram, Alex dan Furqon, mereka sudah nampak sepuh dan saya hanya anak muda ingusan yang ingin ikut menapakkan kaki di Rinjani.
Menjelang tengah malam kami nego harga mobil carteran menuju Pelabuhan Padang Bay, kali ini saya tidak ikut dalam proses tawar menawar karena melihat calo dengan muka seram seperti itu membuat saya ketakutan, hanya Ngguh dan beberapa teman yang ikut andil dalam proses tawar menawar. Setelah harga dirasa pantas kami memasukkan keril ke dalam mobil carteran, pembagian lapak diatur dan berpamitan dengan Karees dan temannya kemudian segera menuju Pelabuhan Padang Bay.
Malam pertama di Bali, kami melewati jalan berliku sepanjang mata memandang hanya gelap yang pekat, jalanan sedikit rusak saat kami menuju pelabuhan. Bintang tak bersinar bulanpun enggan menampakkan wujudnya. Langit Bali sedang dirundung mendung. Semoga hujan tidak turun.
Seberang Pulau, 2 November 2010
Saat itu entah pukul berapa, yang jelas mata kami sudah setengah tertidur saat sampai di Pelabuhan Padang Bay. Langit yang sedari tadi menahan tangis akhirnya menangis kecil, untunglah hanya sebentar. Sesaat setelah menurunkan keril kami disambut oleh calo tiket di Pelabuhan, dengan harga yang sama seperti yang tertera di papan pengumuman tiket dan pemeriksaan KTP kami bisa memasuki kapal dengan cepat. Yang aneh disini adalah kami tidak dibekali tiket sama sekali saat membeli tadi, hanya diantar sampai gerbang kapal dan kemudian dilepas begitu saja. Apakah uang tiket tadi itu beredar disekitar pelabuhan dan tidak masuk dalam kas perhubungan laut? Entahlah, saya hanya berspekulasi.
Kapal malam itu sangat sepi, kami memilih spot duduk yang enak agar nyaman jika ingin tidur. Saya yang belum bisa tidur sesaat setelah kapal berlayar menikmati malam di geladak. Ditemani jutaan bintang yang sebelumnya malu menampakkan diri saya akan menuju Lombok untuk pertama kalinya. Tak sabar rasanya menginjakkan kaki di tanah seribu masjid.
Dini Hari, Lembar |
Keril Personel |
Setelah tertidur cukup nyaman diatas kapal, menjelang jam 4 pagi kami sampai di Pelabuhan Lembar, Lombok. Turun dari kapal dan mencari warung untuk mengahangatkan malam. Kami akan menunggu Bang Fian disini, seorang pemuda asli Lombok yang baik akan mengantarkan kami mencumbu savana Rinjani yang cantik.
Mungkin saat itu mobil yang kami tumpangi kesiangan datang, sampai kami harus menunggu lebih dari 4 jam di warung tempat pertama kali kami datang di Lembar. Sudah banyak calo mobil yang kami tolak. Entah mengapa di Pulau cantik ini calo begitu banyak. Menjelang pukul 9 pagi mobil bang Fian datang, bersama seorang temannya. Berkenalan singkat dan sebelum kami meninggalkan pelabuhan mobil yang kami tumpangi sempat dicegat oleh calo. Rupanya calo itu minta bagian dari temannya bang Fian. Entahlah saya tak mengerti bahasa sasak, sulit dimengerti, nanti akan saya tanyakan.
Perlahan mobil APV yang kami tumpangi menembus kelok jalanan di Pulau Lombok menuju basecamp Gema Alam, di Mataram tempat dimana kami akan repacking dan beristirahat sejenak. Selama perjalanan banyak sekali perbicangan seperti gagalnya acara pendakian massal Gunung Rinjani yang diadakan oleh Kemenbudpar karena kurangnya promosi, kemudian Kuta yang akan dijadikan primadona Lombok selain Gili-Gili yang cantik di utara sana. Cukup jauh perjalanan dari Lembar menuju basecamp, melewati sawah, rumah adat sasak yang unik, aktifitas sehari – hari penduduk Lombok dan yang lainya.
Sekret Gema Alam |
Setelah dua jam perjalanan kamipun sampai di basecamp Gema Alam. Saya begitu tertarik dengan tempelan – tempelan di basecamp ini. Menceritakan tentang perkembangan pertambangan yang ada, kemudian pendakian – pendakian yang terjadi. Sekretariat yang hangat untuk siang hari yang terik. Kami disuguhi mentimun.
Setelah siap dan merepacking keril, kami segera berkemas. Kami tidak hanya akan ditemani bang Fian, tetapi ada tiga temannya lagi yang sama baiknya yaitu bang Marsya, bang Ion dan Om Locker. Menuju Sembalun Lawang. Terik siang ini cukup untuk membakar kulit. Mataram kota yang panas, tetapi tak sepanas Surabaya. Diperjalanan kami sempat mampir di pasar untuk melengkapi perbekalan bang Fian, yang ternyata tidak terbiasa makan mi instan. Jalan berkelok masuk hutan, turun naik tebing seperti di dunia lain. Rumput kecil dari kejauhan membuat indahnya perjalanan ini. Terlibat perbincangan tentang Presiden Soeharto yang kata mereka adalah Presiden yang ikut membangun perkampungan di Rinjani ini.
APV disiksa, Sekret Gema Alam |
Ditengah jalan mobil yang kami tumpangi sempat dua kali ngadat. Pertama setelah lokasi longsor dan yang kedua sesaat setelah tanjakan tiada ujungnya. Kasihan si mobil, dipaksa terus mendaki mengantarkan kami si penikmat alam. Jam 3 sore waktu setempat kami sampai di desa Sembalun.
Isolasi |
Desa Sembalun |
Kembali beristirahat sekedar makan cemilan dan menyeduh teh atau kopi di rumah penduduk, sebentar lagi kami akan memulai pendakian. Saat ini kami tidak melewati pintu masuk resmi, melainkan jalur ladang penduduk yang katanya bisa menghemat waktu beberapa jam.
Senandung Rumput Sore
Istirahat cukup, kembali menggendong keril, berfoto bersama dan melihat sapi – sapi Lombok yang montok, sapi yang cantik. Setelah berdoa kami mulai menapaki jalan setapak mendatar melewati ladang penduduk dengan melewati beberapa sungai kering. Setibanya di pintu hutan kami beristirahat sejenak. Sekedar menunggu teman yang tertinggal di belakang sana sambil meluruskan kaki serta mengatur pernapasan.
Berangkat |
Ladang Penduduk |
Selepas pintu hutan jalur kembali mendatar namun jauh untuk mencapai persimpangan antara jalur resmi dan jalur yang kami lalui. Batas sungai dengan jembatan kecil yang menjadi tanda. Ilalang setinggi manusia dewasa mulai mendominasi. Setelah sungai yang airnya mengering ini kami melanjutkan perjalanan. Memutar punggungan, matahari mulai menyipitkan sinarnya, angin dingin merasuk, ilalang ikut bergoyang, sore yang indah.
Taman Nasional Rinjani |
Istirahat |
Jalur sedikit mendaki dan didominasi oleh ilalang serta sesekali jalur mendatar membuat napas ini sedikit terengah-engah. Perlu strategi istirahat untuk kamuflase kelelahan. Kami sampai di pos 1 sebuah bangunan dari kayu yang sudah hampir rubuh dengan pandangan ke depan gunung Rinjani dengan awan putih yeng melingkarinya serta kombinasi ilalang yang menguning karena terpantul sinar matahari sore itu. Istirahat.
Sungai, Pertemuan Jalur |
Menuju Pos 1 |
Pos 1 |
Matahari semakin condong ke barat sedangkan udara semakin dingin, kami melanjutkan perjalanan. Menarik buat saya, perjalanan yang panjang ditemani dengan padang ilalang yang sangat luas dengan beberapa pohon yang lebih tinggi seperti oase dunia sore itu. Savana padang rumput hijau, dengan semak terpancar diantara rerumputan, karena keadaan tanahnya ini seperti di Afrika. Sepanjang mata memandang ke arah manapun savana terbentang luas. Sangat luas. Jalur menuju pos 2 cukup landai, sedikit menanjak namun agak panjang. Kami sampai di pos 2 saat matahari telah kembali ke peraduan. Segera mendirikan tenda karena dinginnya udara.
Di Balik Bukit? |
Rinjani Berhiaskan Awan |
Malam itu kami menikmati indahnya bintang bertaburan terhampar luas di langit sana. Sesekali angin bertiup sepoi membuat udara dingin malam itu semakin menusuk tulang. Makan malam tinggi kalori dan vitamin menjadi penutup jumpa kami sebelum akhirnya tertidur ditemani suara jangkrik yang saling bersautan.
Pendakian Sebenarnya, 3 November 2011
Pagi, terbangun karena suara alarm HP yang lupa di nonaktifkan. Dingin masih saja menemani pagi. Melihat sekeliling nampak kami seperti kelompok manusia yang terdampar dihimpit oleh hijaunya bukit – bukit menjulang nan tinggi. Kami masih di pos 2.
Pos 2 |
Rinjani dari Pos 2 |
Masih penasaran dengan aliran sungai mati, sayapun menghampiri. Sampai memanjat karena tak juga menemukan air yang laik untuk diminum. Dan sampai di batas dimana saya tak bisa memanjat lagi saya menemukan aliran air sangat kecil yang bisa untuk diminum. Airnya tidak berbau dan tidak berasa, berarti aman. Setelah itu segera kembali berkumpul dengan rombongan yang ternyata sedang asik menata sarapan yang sudah disiapkan sejak saya mencari air. Segera bergabung dan makan dengan lahap. Hari ini pendakian akan dimulai.
Savana |
Repacking selasai jalur memutar bukit masih dengan savana terbentang, terhampar seluas mata memandang. Saya penasaran dengan suguhan menarik apa yang tersaji di depan sana. Jalur masih dengan tanjakan – tanjakan kecil sesekali landai walaupun “bonus” sedikit. Savana yang menari indah dihamparan membuat lelah ini sedikit berkurang sampai bertemu dengan jembatan kayu yang kecil, santai sejenak.
Savana |
Jembatan Kayu |
Santai |
Saat di pos 3 kami disambut oleh penguhuni gunung ini. monyet yang gemuk dan besar – besar segera berpose diatas batu tepat dibelakang shalter. Nampaknya mereka ingin sekali menjadi model, kamera tak henti – hentinya mengabadikan kawanan monyet yang nampak galak itu. Menjadi sebuah pertunjukan alam tersendiri ditengah savana luas membentang.
Setelah pos 3 jalur kembali tersembunyi di balik bukit, namun kali ini tidak ada jalur landai sedikitpun. Selepas pos 3 jalur terus menanjak, terik matahari berubah menjadi mendung yang hitam kelam. Saya takut hujan akan turun. Pasti akan merubah peta waktu perjalanan kami. Rinjani telah menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Jalur menanjak ini membuktikan bahwa sebelum melihat Rinjani yang cantik a kita harus mau berusaha berusahpayah mendaki gunung ini dengan sepenuh hati. Dan hujan pun turun.
Saya yang berada di tengah dan Andre, bang Fian sudah terlebih dahulu didepan dengan sigap membuka flysheet. Sedikit berlari saya menghampiri dan hujan deras turun hingga membasahi relung – relung tanah kering di sekeliling.
Satu persatu datang menghampiri, mereka nampak kedinginan. Sambil menunggu hujan mereda kami membuat makan siang. Saya menghangatkan dengan coklat dan yang lainnya membuat seduhan kopi. Saya tidak minum kopi, cukup air putih atau teh. Cukup lama kami disini, sebenarnya jika tempatnya cukup besar tidur adalah pilihan yang terbaik ditengah hujan. Perlahan kabut naik, dan rintik hujan tidak sebanyak tadi. Kamipun memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan. Flysheet dilipat, jas hujan dipakai, keril kembali menempel di punggung, kami siap mendaki.
Perjalanan semakin berat karena jalur menjadi licin. Harapan agar hujan tidak membasahi tanah Rinjani nampaknya hanya angan belaka. Hujan deras kembali membasahi bumi ini. Jalur yang dilaluipun seperti aliran sungai deras yang tiada henti mengalir. Sesekali saya berhenti untuk sekedar bernafas. Perlahan namun pasti langkah saya meniti jalur setapak ini. Tepat di belakang saya Ade, kami seperti diduetkan untuk saling menyemangati. Rombongan terpecah menjadi tiga. Di bagian depan sudah lebih dulu Andre, Bang Fian, di tengah saya dan Ade serta Bram, kemudian di rombongan belakang ada Angga, Ngguh, dan Bang Locker sisanya yang tidak tersebut mungkin sudah lebih dahulu di depan sana.
Derasnya hujan membuat badan ini menggigil jika berhenti, sampai saat bertemu turis asing ketika saya berhenti mereka sempat bertanya “How are you doing here? Can be frozen!”
“Just break, Sir”
“Come on, the beautiful mountain waiting you”
“Ok Sir, you first”
Setelah itu kami jalan beriringan namun lama kelamaan saya tertinggal jauh olehnya. Bule itu jalan sangat cepat, selain tidak menggendong keril bule itu juga mempunyai langkah yang besar. Saya kembali memperlambat tempo langkah sambil menunggu Ade yang ternyata tertinggal jauh di belakang sana.
Ade datang, saya mempercepat langkah, kami kembali berjalan beriringan. Jemari saya sudah dirubung bunga es. Tepat diujung bulu – bulu halus di kulit saya bunga es muncul kecil – kecil, tangan ini tak lagi bisa bergerak bebas, hampir kaku. Mungkin ini yang dimaksud bule tadi. Jangan berhenti terlalu lama. Tapi pada kenyataannya saya memang sedikit berhenti saat hujan, namun memang langkah saya buat perlahan agar tidak drop nantinya.
Menjelang ujung bukit yang belakangan saya baru sadar baru saja melewati bukit penyesalan. Sebuah bukit yang berujung dan tidak berujung sangat panjang. Di ujungnya sebelum kami menuju Plawangan Sembalum terdapat tempat istirahat yang berupa tanah lapang cukup luas. Sambil menunggu teman – teman yang lain saya beristirahat sejenak disini. Sekedar makan crackers dan minum susu kental manis. Hujan sudah mulai berhenti namun mendung belum juga mau pergi dari atas kepala saya.
Saat Angga terlihat dari kejauhan yang ternyata telah di susul oleh bule – bule dari negara antah berantah akhirnya datang. Nampaknya Angga begitu kelelahan, mendapatkan kabar bahwa Ngguh drop dibelakang sana tapi keadaannya baik. Namun saya masih ingin melihat Ngguh dihadapan baru saya kembali menyusuri bukit menuju Plawangan Sembalun.
Ngguh nampak kecil dibawah sana, saya lihat jalannya mulai terseok – seok, namum Bang Locker dengan setia menemaninya. Saya memutuskan untuk kembali menapaki jalan setapak menghampiri Plawangan Sembalun. Gerimis kembali datang. Disaat yang sama saya melihat beberapa bule perempuan dengan tangguh berjalan hanya mengenakan kaos dalem dibalut hotpants dan stocking jalan mendahului saya sebelum akhirnya saya berbincang sebentar dengannya. Bule itu berasal dari Singapura yang rupanya sudah tidak asing dengan Indonesia. Buktinya dia cukup lancar berbahasa Indonesia walaupun terdengar aneh.
Hanya satu bukit yang sedikit landai ini kami lewati sampai akhirnya kami bertemu Plawangan Sembalun. Kabut putih menutupi kawasan ini. Rombongan yang telah sampai lebih dahulu sudah membuat tenda. Saya masih menunggu Angga yang ada di belakang sana. Untung saat tiba di Plawangan Sembalun cuaca mulai bersahabat. Hanya dingin yang tidak mau berkompromi.
Saat sedang membantu Ade mendirikan tenda saat itu Angga datang dengan muka merah terengah – engah, saya segera membongkar keril Angga untuk mengambil tenda kemudian mendirikannya tentu dibantu siempunya tenda walaupun ia kedingingan. Ade yang tadi saya bantu saat itu digantikan oleh personel lain, saya lupa. Setelah tenda berdiri kami segera berganti baju dan mengenakan jaket tebal untuk melindungi tubuh dari angin dan mengembalikan hangat tubuh ini. Sore ini kami menikmati matahari terbenam dengan pandangan Segara Anak di bawah sana dan Gunung Agung di kejauhan. Awan putih menggantung bak kapas terbang yang tak tentu arah. Sore indah di Plawangan Sembalun.
Menanti Matahari Terbenam |
Gunung Agung |
Makan malam dibuat dengan berkolaborasi dengan Ade yang tendanya tepat di depan tenda yang saya tempati saat ini. Makanan yang rancu, tapi harus tetap di makan karena kami membutuhkan kalori yang cukup setelah seharian mendaki. Melihat banyaknya personel yang drop seperti Ngguh, Rikky, Angga serta angin dingin malam dan sampai pagi hujan juga tak kunjung mereda membuat kami memutuskan untuk menunda mengunjungi tanah tertinggi NTB. Malam ini kami habiskan hanya untuk beristirahat hingga pagi menjelang.
Plawangan Sembalun, 4 November 2011
Pagi – pagi sekali angin dingin Plawangan Sembalun membangunkan para personel OANC yang hadir. Turis asing yang kemarin memenuhi Plawangan Sembalun mulai meninggalkan tempat ini, mungkin tujuan mereka selanjutnya Segara Anak dengan Baru Jarinya. Entahlah.
Tak banyak kegiatan yang kami lakukan pagi hingga sore menjelang. Hanya memindahkan tenda dari atas ke bawah hingga berjejer tebing yang menghadap langsung ke Segara Anak. Menjemur pakaian, keril, sleeping bag dan sejenisnya yang basah terkena hujan kemarin kemudian bermain bersama monyet-monyet nakal. Bereksperimen dengan aneka makanan dan suguhan pedas sambal Lombok yang khas. Serta lari – lari kecil membiasakan diri dengan suasana yang ada. Hanya tinggal kami siang itu.
Sore, banyak pendaki yang lagi – lagi bule mendominasi. Mereka begitu terpukau dengan pemadangan Segara Anak dari Plawangan Sembalun ini. Nampaknya esok kami akan berkunjung ke Dewi Anjani bersamaan dengan mereka. Sore ini masih dengan awan yang menggelayut seakan tidak bosan menemani kami matahari kembali keperaduan dengan Gunung Agung di kejauhan. Tambora belum menampakkan wujudnya.
Setelah makan malam kami segera tidur, walaupun tidak bisa harus saya paksakan tidur. Dinihari nanti kami akan memulai kunjungan ke Dewi Anjani. Fisik harus dijaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Sepi sunyi tak ada suara. Malam gelap gulita dengan suara angin sepoi di luar sana saya terlelap.
Rinjani Dirundung Kabut dan Angin, 5 November 2010
Dini hari, hampir semua yang memasang alarm terbangun. Tenda sebelah segera membuat coklat hangat yang dibawa Angga serta agar-agar sebagai pengembang perut agar kami tidak mudah lapar. Beberapa potong coklat juga menemani sesaat sebelum menuju puncak. Dini hari yang cerah dengan taburan bintang membuat saya bersemangat.
Semua siap, berdoa dan kami memulai perjalanan. Sama seperti di awal perjalanan, saya dan Ade ditengah dan di depan Bang Fian, Andre, Alex dan Furqon kemudian Angga, Ngguh, Bram dan Rikky ada di belakang. Track awal sudah menanjak. Dengan melipir punggungan yang terdapat besi penyangga membantu saya dalam menaiiki punggungan ini. Rombongan depan sudah jauh melesat, sedangkan saya jika terus mengikuti tempo mereka Angga dan yang lainnya di belakang saya akan semakin tertinggal jauh. Akhirnya saya biarkan mereka di depan sana jalan secepat mungkin, dengan harapan jika ada tanah lapang kami akan bertemu di sana dan beristirahat untuk kemudian melanjutkan pendakian.
Setelah beristirahat cukup kami mengambil arah kiri untuk kemudian jalur terus menanjak. Kanan adalah jurang dan kiri punggungan Rinjani, jalur kecil setapak dan hanya muat untuk dua kaki saja. Masih cerah malam itu. Tak ada tanda – tanda akan datangnya badai angin atau kabut. Langit bersih dan bintang membantu penenerangan kami. Di jalur entah sudah berapa bule yang melewati saya. Dengan sesekali berhenti, mentaripun menampakkan sinarnya di sebelah timur namun hanya sebentar.
Tampaknya matahari punya alasan lain mengapa hanya sebentar menampakkan diri. Setelah itu praktis jalur tetap gelap tertutup kabut, dan angin semakin kencang bertiup. Kanan, kiri, depan dan belakang membuat saya harus pintar – pintar melangkah dan menghindari angin dengan membelakangi angin. Jarak pandang yang tadinya cukup jauh terlihat saat ini hanya sebatas mata memandang di depan. Tak ada yang telihat, Ade yang berada tepat dibelakang saya saja sangat kabur seperti ingin terbawa angin. Dingin sekali.
Jaket yang saya kenakan mulai berbunga es. Menurut Ngguh suhu 7˚ di dalam jaket, bagaimana dengan suhu di luar? Entahlah, tak ada yang tahu. Semakin mendekati puncak kabut semakin tebal dan angin semakin kencang. Saya mengumpat dibalik batu besar di jalur sambil beristirahat menunggu yang lain. Namun menurut Ngguh yang di ceceran rombongan saya bilang bahwa Angga, Rikky jauh di belakang sana. Kalau mau menunggu kami akan kedinginan, jika tidak menunggu tak enak hati. Saya memutuskan untuk terus berjalan perlahan tapi pasti.
Sesaat setelah perubahan pola, Ngguh dan Bram di depan saya dan Ade tetap di belakang. Kami terus mendaki melawan angin dan kabut. Sudah berjalan cukup lama namun nampaknya puncak belum juga tampak. Hingga kami kehausan dan Ade memberanikan diri untuk meminta pada bule yang saat itu turun, bule yang baik hati itupun memberikan kami semangat. “Only 2 hour from here” kata bule perempuan itu.
Dua jam dari sini, saya akan pegang perkataan bule itu. Berjalan menembus kabut namun saat saya menoleh ke arah kanan nampaklah puncak tertinggi Rinjani, kabut yang dari tadi mengganggu sepintas hilang seakan ingin memberi tahu seberapa jauh saya harus melangkah untuk sampai ke sana. Hanya sebentar puncak itu terbebas dari kabut dan selebihnya kabut kembali menutupi.
Terus berjalan, tak lagi peduli dengan kabut, tujuan saya hanya satu segera sampai di puncak untuk kemudian kembali turun. Dingin sekali. Angin sangat tidak berahabat. Dari jauh saya mendengar suara ramai, mungkinkah sudah dua jam saya berjalan? Dan ah, benar saja, Andre, Bang Fian, Alex, Furqon, Ngguh dan Bram, Jojos dan Shinta telah lebih dulu sampai. Setelah saya hitung waktu sejak tadi, benar adanya. Bule itu tepat waktu. Sudah dua jam saya berjalan dan sekarang saya berdiri di tanah tertinggi di Nusa Tenggara. Sebidang tanah yang sempit ini saya begitu beruntung. Masih beruntung tidak hujan, saya masih beruntung bisa mengatasi segala kekecewaan akan cuaca yang tidak bersahabat yang membuat kecewa tidak mendapatkan langit biru, Segara Anak dan Baru Jari yang bila cuaca cerah seharusnya mereka tampak dari puncak ini. Saat ini yang terjadi hanya hempasan angin yang sangat kencang dengan kabut tebal.
Ingin rasanya menunggu Angga di puncak ini, namun angin memaksa saya untuk segera turun. Mengumpat di balik batu besar sebelum arah puncak ini. Di sini saya bertemu Angga, bersamalam dan pamit untuk turun lebih dulu. Entah berapa lama Angga di puncak sana. Saat saya dan Ade serta Bram turun dari puncak cuaca masih sama, gelap kabut, matahari masih enggan untuk bersinar. Tak ada secercah langit biru sedikitpun sampai saya lelah kemudian beristirahat di jalur. Masih bersama Ade yang tengah sibuk membuat video dahsyatnya kabut di Rinjani hari ini. Bram sudah berlari meninggalkan kami, mungkin menyusul Ngguh dan yang lainnya di depan.
Karena serius menapaki jalan setapak saya sampai tidak melihat keadaan sekitar. Kabut masih saja menutupi pandangan tetapi tak jauh kabut seprti hilang berganti langit biru namun jika saya melihat ke atas dimana Ade masih di sana kabut tebal tak pergi. Rinjani punya sisi cuaca yang aneh. Fokus pada jalan sampai ketika saya melihat ke sebelah kanan jalur saya melihat keindahan luar biasa. Sebuah bukit hijau yang bertumpuk dengan awan putih menggantung dan desa di kejauhan sana serta garis pantai yang terlihat jelas. Saya menikmati pagi itu. Hari ini, pemandangan yang menghibur sejak semalam tadi. Menikmati angin semilir, jauh lebih bersahabat daripada yang sudah – sudah. Sebenarnya ingin segera turun, namun nampaknya sangat merugi jika saya meninggalkan hamparan bukit hijau di kejauhan sana.
Namun, nampaknya perut ini sudah tak bisa berkompromi. Puas melihat suguhan surga Rinjani saya turun perlahan. Matahari mulai menampakkan secercah sinarnya. Hari ini lebih cerah daripada kemarin. Saat turun, jalur yang saya lalui berujung jurang, saya salah jalur. Dari kejuhan terlihat ujung awal pendakian ini, saya segera mengambil inisiatif untuk melipir punggungan ke kiri sedikit melompat dan Ade tetap mengikuti saya di belakang. Ketika tiba di jalur yang sebenarnya saya kembali salah memilih, namun sudah bisa ditebak ujungnya. Saya berhasil sampai di Plawangan Sembalun.
Kali ini saya jalan – jalan munuju sumber air melewati jalur licin yang sesekali saya hampir terjatuh. Licin karena pasir dan rembesan air, selain itu karena saya pakai sendal jepit. Setelah sampai saya pikir sumber airnya berupa aliran sungai tapi ternyata seperti di Sumber Mani, hanya berupa rembesan sisa penampungan air oleh akar – akar pohon besar di atas sana. Sekali lagi saya membuktikan pentingnya pohon besar dan hutan bagi manusia.
Antiklimaks
Siang ini awalnya kami ingin turun ke Segara Anakan atau pulang melalui Sembalun. Banyak kendala teknis yang sama sekali diluar dugaan. Manajemen yang tidak baik, entah siapa, yang jelas kejadian ini begitu konyol menurut saya. Keputusan pun diambil tidak dengan cepat, sampai akhirnya hujan kembali turun dan menjadi lebat. Awan kembali menutup kawasan Plawangan Sembalun. Entah, tak ada yang mau dan bisa disalahkan. Menurut saya dari awal juga tidak jelas siapa TS dari rombongan ini. Hanya kolektif kolegial saja. Kedewasaan dalam berfikir dan bertindak serta pengambilan resiko benar – benar dibutuhkan saat itu. Saya yang paling kecil dan paling baru bertemu mereka merasa tidak punya hak bicara walaupun saya berpendapat.
siang itu |
Tak ada kegiatan apapun sampai pergantian hari esok. Hanya bicara tentang kesan puncak dan kebosanan di Plawangan Sembalun. Memasak seperti biasa dengan bahan makanan yang semakin menipis. Malam menjelang dan terlelap.
Perut lapar ditambah dinginnya malam membuat saya terbangun. Dini hari cerah sekali, angin dingin bertiup kencang. Saya tersadar bahwa setenda dengan Ade dan Ngguh, bukan dengan Angga. Padahal sebelumnya saya dengan dia. Pasti kedinginan setenda sendiri, apalagi monyet – monyet Sembalun suka mengganggu. Suara diluar para tetamu asing akan melaksanakan ritual menuju puncak. Kembali terlelap.
Sebuah Perjalanan, 6 November 2010
Terbangun karena kaget saya segera keluar tenda. Menghirup udara segar pagi itu. Terlihat langit begitu biru dan matahari bersinar manghangatkan tubuh. Beda sekali dengan cuaca kemarin saat punggungan sama sekali tidak terlihat ditutup kabut. Menyesal tidak ikut ke puncak hari ini. Tambora yang seperti meja di kejuhan terlihat saat matahari ikut menyinarinya. Mengabadikan moment langka di bulan November merupakan suatu keharusan. Menyenangkan melihat matahari bersinar. Pagi yang cerah!
Setelah puas dengan suguhan matahari terbit kami semua segera membuat makan pagi kemudian packing ulang untuk turun gunung. Sesuai rencana kemarin, kami tidak akan turun melewati Segara Anak, Baru Jari atau sekedar lewat Senaru. Kami akan melewati Sembalun.
Packing selesai saatnya berfoto sebelum turun. Awalnya kabut sangat tebal sesaat kami akan turun gunung. Diperjalanan matahari kembali menampakkan sinarnya, turunan demi turunan dilewati. Untungnya saat di menuruni bukit penyesalan dengkul saya sehat tidak mengalami kelelahan sedikitpun. Lancar sampai tiba di Pos 3. Memang target kami sampai di Desa Sembalun sebelum sore. Karenanya saat turun hampir semuanya menggunakan kekuatan penuh.
Kabut Perpisahan |
Turun Gunung |
Saat itu matahari kembali bersinar. Melepas segala pernak pernik pelindung, kami melanjutkan perjalanan. Semakin cepat sampai semakin baik. Tak terkejar tim pembalap di depan sana. Saya berjalan terus masih didampingi Ade, sedangkan Bram dan Andre masih dibelakang sana. Melihat kerbau – kerbau tangguh yang di gembalakan sampai di punggungan bukit membuat mereka terlihat kekar. Perjalanan ini akan segera berakhir saat sekelompok anak menyapa “Good Afternoon, Mr”.
Kami sampai di Desa Sembalun. Sambutan makan sore itu segera saya santap. Merecarge HP kemudian antri membasuh tubuh. Lelah dan masih menyisakan kekesalan akibat tidak mengunjungi Segara Anak. Lain waktu saya harus berkunjung ke Rinjani lagi. Dengan manajemen yang baik dan perhitungan waktu kunjungan yang matang. November adalah musim hujan, memang sudah kodratnya begitu. Jadi saya akan mencari waktu terbaik berkunjung.
Kami akan pulang melewati utara. Berkunjung ke sebuah desa adat di kaki Rinjani. Disuguhi rumah kuno, dan pengrajin tenun. Membeli sedikit oleh-oleh tenun nampaknya tak salah. Harganya yang mahal pun sesuai dengan proses pembuatannya yang sulit. Kami sedikit memutar sebelum akhirnya kami sampai di pusat kota Mataram. Menyantap makanan khas Mataram yang murah meriah sampai kenyang. Kami juga sempat mampir ke kampus Bang Fian untuk mengantarkan Jojos dan Shinta serta beberapa teman Bang Fian yang akan bermalam di sekretariat kampus. Setelah itu kami segera menuju Pelabuhan Lembar untuk menyebrang ke Bali, Pulau Seribu Pura.
# Suatu hari nanti entah dengan siapa dan kapan, saya harus kembali lagi ke Rinjani #
# Suatu hari nanti entah dengan siapa dan kapan, saya harus kembali lagi ke Rinjani #
Foto : Angga, Angan, Ade, Andre, Ngguh
Terimakasih :
#Allah SWT yg telah memberikan kesempatan pada saya untuk menikmati indahnya Rinjani walaupun berkabut
#Papa & Mama
#Vidia
#Singgih yang ikut berburu tiket Garuda dan ga jadi berangkat karena tes CPNS
#Anak - anak OANC
#Anak - anak OANC
# Bang Fian, Om Locker dan semua temen-temen Gema Alam yang sudah membantu. Lain kali saya dibantu lagi ya..
# Karees, Om Fikri dan temannya untuk Balinya
# Semuanya Terima Kasih ya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar