Rabu, 28 Maret 2012

Rumput Hitam Tegal Panjang, 24 - 26 Juni 2011

“keindahan kabut sore itupun lenyap saat melihat rumput menghitam, kering dan gosong”

Tegal Panjang
Perjalanan

Juni, beberapa hari setelah saya menambah jumlah lilin yang menyala sekaligus bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT, saya berhasil mengajak Kang Ndar sesepuh dari Bogor dengan kemampuan bahasa Sunda yang sudah mencapai tingkat “mahir” yang juga mengajak teman – teman lainnya seperti om Insinyur atau yang katanya mempunyai nama asli Agus Muschoni, kemudian ada om Fredric yang selanjutnya biasa kami panggil dengan sebutan om Eric, ada lagi mas Rangga, dan satu – satunya wanita yang ikut dalam rombongan ini adalah Rani, perempuan yang sedang galau karena si Carl bule Jerman lagi sibuk ujian. Terminal Kp. Rambutan menjadi saksi awal pertemuan kami berlima, kecuali Rani yang sebelumnya pernah menjajaki Papandayan bersama. Seperti biasa saya diam tak banyak bicara, mungkin nanti, saya sangat pemalu.

Hari sudah semakin malam, bis menuju terminal Leuwipanjang telah melaju cepat dan tampa terasa di tengah rasa kantuk yang teramat sangat kami sampai. Udara dingin langsung menyusup segera digiring oleh Kang Ndar menuju sisi lain dari terminal, kami terhenti di depan minimarket. Memulai perbincangan ringan dengan masalah politik di Papua yang dibawakan langsung oleh om Eric yang seketika menjadi pembicaraan hangat sambil menunggu Kang Ndar mendapatkan inspirasi dengan apa dan bagaimana caranya kami sampai di Cibutarua.

Menjelang jam 4 pagi, Kang Ndar mendapatkan mobil carteran semacam mini bus dengan harga yang pantas untuk mengantarkan kami ke desa Cibutarua. Perlahan mini bus yang kami tumpangi meninggalkan Leuwipanjang selanjutnya terlibat pembicaraan yang cukup hangat di dalam mini bus sampai kami tertidur pulas satu per satu.
Good Morning Malabar Tea Park
Tiba diperkebunan Malabar suasana begitu mistis, saat itu jam 6 pagi, kabut putih di sekeliling menyergap lingkungan kami yang terjebak di dalam mini bus ini, Kondisi layaknya film Rumah Dara dimana ada bangunan tua dengan hiasan kebun teh di sekelilingnya. Satu per satu kami bangun, jalur yang dilewati cukup membuat perut berguncang keras, menjerit hingga akhirnya tegang meregang dan mual. Udara begitu dingin ketika kaca mini bus tersebut dibuka.
Kebun Teh Malabar
Pemandangan mistis perlahan berubah menjadi pemandangan yang sangat memanjakan mata, kini pucuk – pucuk daun teh tersebut terlihat jelas dengan payung awan yang perlahan mengambang di awang – awang. Mini bus terus melaju bersamaan dengan sinar mentari yang mencoba menembus kabut kami tiba di depan masjid besar di desa itu jam 7.30.
Rani & Pejuang Cilik
Bergurau bersama, dikerubutin. Menarik
Sambutan hangat anak – anak desa dengan senyum ikhlas dan ramah tidak terkontaminasi polusi membuat saya pribadi senang. Sementara yang lain mencari sarapan, saya bersenda gurau dengan anak – anak desa tersebut, kebetulan lokasi masjid itu tepat di sebuah sekolahan. Mungkin saat itu jam istirahat atau gurunya belum datang, jadi mereka bebas bermain di luar kelas, saat itu seperti biasa saya selalu menanyakan tentang kondisi sekolah mereka, prestasi yang didapat, cita – cita sampai pada akhirnya kami bercanda bersama sampai saat guru mereka datang tetapi dibiarkan bersenda gurau dengan saya.

Sedang asik bermain tebak – tebakkan rombongan yang tadi sedang mencari sarapan datang, saya dan yang lainnya segera membereskan barang bawaan kembali, bersiap – siap untuk berangkat. Pamit dengan bocah – bocah lucu nan lugu itu seperti akan pergi jauh saja. Ah, 20 menit yang menyenangkan bersama mereka.
memasuki jalan setapak kebun teh Malabar
Memasuki pedesaan yang sejuk, tenang seperti tak ada tanda – tanda kehidupan saat itu kami berjalan perlahan, membelah kebun teh yang indah permai. Matahari sudah menyinari dengan terik, hingga tak berapa lama perut kami tiba di sebuah persimpangan dengan pohon rindang di sisi sebelah kanan kami, awalnya hanya ingin beristirahat tetapi kami lanjutkan untuk sarapan. Sejauh mata memandang hanya ada kebun teh dengan konturnya yang berbukit landai, sarapan dengan pemandangan yang memanjakan mata membuat ingin berlama – lama menikmatinya.
kebun teh Malabar
sarapan di bawah pohon
Diingatkan oleh Kang Ndar bahwa perjalanan masih sangat jauh, saat itu saya pun teringat peta GPS manual dari Angga yang memang jalurnya jauh sekali, jadi kami pun mengikuti apa kata sang Kang Ndar, karena hanya dia yang mengetahui jalur ini. Kembali membelah kebun teh dengan sesekali truk lewat yang membuat debu berterbangan menyesakkan dada, kami menuju perkebunan munjul (kata Kang Ndar) berhubung saya kebagian dibelakang rombongan jadi saya hanya mengikuti saja. Hal aneh terjadi ketika kebun teh sudah berubah menjadi bukaan hutan yang membuat miris, seperti peralihan fungsi hutan, kami tersasar. Kang Ndar lupa jalur, jadi kami berbalik arah dan mencari lahan teduh untuk beristirahat. Cuaca sangat panas, terik dan berdebu. Munjul – Cikoleti kami sempat tertidur karena tersasar jauh sekali dari jalur yang seharusnya.
istirahat
bukaan lahan saat salah jalur
lahan saat salah jalur
ada yang masih tidur pules, jalurnya tepat dibelakang
Puas tertidur di bawah pohon yang rindang, walau hanya satu batang pohon di kebun itu kami cukup segar untuk melanjutkan perjalanan. Masih dibelakang, saya melihat Kang Ndar sudah mulai menggunakan kemahiran bahasanya sebagai petujuk mencapai pintu hutan. Jalurnya ternyata berada di samping rumah yang terus menanjak hingga didapat rimbunan pohon yang disebut sebagai pintu hutan, tidak ada pintunya sih, hanya ada jalur masuk ke dalam hutan. Istirahat sebentar dan ada yang bermasalah dengan lambung.
menuju pintu hutan
Kami berjalan perlahan mengikuti alunan langkah Kang Ndar yang memang dia memimpin. Jalurnya cukup bervariasi kadang menanjak, kadang menurun, cukup panjang jalur yang dilalui hingga menemukan aliran sungai, kami menyebrangi sungai itu dengan sedikit melompat. Perdu tak menghalangi langkah, karena saya memakai celana panjang seperti yang diinfokan sebelumnya. Setelah melewati sungai ini jalur masih saja panjang, cemilan roti susu selalu menjadi kudapan favorit untuk mengisi perjalanan panjang yang sedikit membosankan. Kalau bukan karena cerita konyol om Insinyur yang berduet dengan Kang Ndar mungkin saya sudah mengatuk dan bukan tidak mungkin jika tertidur di jalur.
Lompatan Sungai Pertama
Istirahat
Istirahat
Rumput Menghitam
Hari sudah semakin sore, terlihat cahaya keemasan dari celah pepohonan yang menjulang tinggi. Jam 4 kami tepat di bibir padang rumput luas. Aih.. luas tapi menghitam. Semua diluar ekspektasi yang saya bayangkan. Tak ada kabut turun perlahan, tak ada rumput kuning yang tinggi bergoyang perlahan tersapu angin saat ini yang ada hanya hamparan rumput yang menghitam, kering seperti habis terbakar. Hampir disemua bagian. Menyedihkan.
Tegal Panjang
menuju padang rumput
mencari lokasi kemah
Agak menggerutu ketika sampai, mungkin karena sudah memasuki kemarau, kami terima saja. Terik sore itu, sambil mencari tempat untuk mendirikan tenda canda tawa kembali pecah kemudian hening. Dingin.
Tegal Panjang
Tegal Panjang
Tegal Panjang
Malam tak banyak dihabiskan di luar tenda, selepas makan malam kami semua masuk ke tenda masing – masing berhubung senin esok hari saya ujian jadi saya membawa ringkasan untuk dibaca. Hingga yang lain terlelap rasanya masih saya yang terbangun. Sempat ada suara – suara aneh tapi dihiraukan dan ternyata kang Ndar juga mendengar. Angin semakin berhembus kencang udara semakin dingin, agak sulit jika tidur berdua dengan perempuan kalau situasinya seperti ini. Menggigil.
Tegal Panjang
Rangga, Sumber Air
Matahari pagi, Tegal Panjang
Pagi hari masih saja angin berhembus pelan, menemani Rangga mengambil air di sungai yang lebih tepat disebut cerukan yang mengalir, dingin. Langit cerah, biru, tak ada awan sedikitpun. Agak sulit mencari pembiasan cahaya jika suasananya seperti ini terus. Pagi inipun kami habiskan untuk membuat sarapan dan bersiap menjalani jalur selanjutnya. Kita akan membelah padang rumput yang menghitam menuju hutan lebat di sisi Papandayan. Hal terbodoh kali ini adalah menunggu matahari terbit, karena ternyata matahari terbit di balik bukit. Hufh.

Menikmati Kawah Papandayan

Menjelang jam 10 kami telah siap. Masih dipimpin Kang Ndar kami melanjutkan perjalanan melewati jalur – jalur sempit ditambah dengan banyaknya pohon tumbang cukup untuk menghilangkan rasa kantuk yang mendera. Saat istirahatpun tak ada makan siang kecuali cemilan berupa roti. Air pun menipis hanya mengandalkan sungai kecil berair keruh yang diperas dengan syal yang masih bersih. Jalan panjang yang membentang masih menanti, tujuan selanjutnya adalah lahan pandang menuju kawah Papandayan.
Meninggalkan Tegal Panjang
Meninggalkan Tegal Panjang, Kembali ke Hutan
Tegal Panjang
Menjelang jam 2 siang pepohonan sudah semakin terbuka, masih rapat tetapi rendah dan tak sedikit ranting dan dahan yang tersangkut di keril, kami tiba di lahan pandang Guberhut. Istirat cukup lama banyak keriangan ditengah kelelahan. Menikmati indahnya kawah Papandayan dari sini terlihat berbeda, sangat jelas dan menarik. Berhubung hari semakin sore kami membatalkan mengunjungi Pondok Saladah, niat ke puncak juga harus diurungkan.
Istirahat
Jun, Rani, Insinyur, Ndar, Rangga, Eric
Kawah Papandayan
The Team
Kembali melewati jalur tanah merah yang saat itu kering dan sangat berdebu, kembali melewati kawah Papandayan yang entah kenapa saat itu sepertinya kawah semakin lebar dan semakin banyak asap yang keluar serta gelembung air panas yang bergejolak. Angin berhembus sepoi membantu kami bernapas lebih lama. Mempercepat langkah untuk menghindari sore tiba lebih cepat kami tiba di pelataran parkir. Sepi.
Kawah Papandayan
Kawah Papandayan
Cover
Bebatuan Papandayan
Hari semakin sore dan gelap, angin sangat tidak bersahabat. Kencang. Saya berlindung dibalik tembok, Rani masuk ke dalam warung kenalan Kang Ndar yang seharusnya beliau sudah menginjakkan kaki di rumah tapi demi segerombolang anak ceria datang beliau rela menutup warungnya sampai kami dijemput angkutan.

Saat pandangan mata seluruhnya sudah menghitam kelam, kami dijemput dan langsung menuju terminal Guntur. Ketika sampai segera berpisan dengan Kang Ndar yang pulang ke Bogor sehingga menunggu bis lebih malam, dan yang lainnya menuju Jakarta. Tengah malam kami sampai di kota metropolitan ini. Tegal Panjang, Afrika di tanah Garut.


Terimakasih buat kebaikan hati Kang Ndar yang sebenarnya penasaran sama saya *katanya beliau sendiri* yang mau mengantar saya. Rani, Om Insinyur, Rangga dan Om Eric yang mau bersuka cita di padang rumput.
Rute : Kp. Rambutan - Leuwipanjang - Cibutarua - Tegal Panjang - Papandayan - Garut - Jakarta
Carter Mobil Leuwipanjang - Cibutarua 300.000* nego

4 komentar:

  1. asseekkk ceritanya seru dan mang horor ya di situ kok sampe ada suara2 aneh apaan?...bikin penasaran pgn k sana...kliatannya banyak savana keren di sana

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah kalo seru.. haha.. kalo di Lati suara kantong kresek kalo di sana suara orang teriak gitu :) kalo ke sana kayaknya bagus pas pancaroba dari hujan ke kemarau deh om, pas Juni lalu sudah kemarau jadi cuma dapet gersang aja.

      Hapus
  2. soal foto kok ga disebut sebut... :siul:

    BalasHapus
    Balasan
    1. ga akan disebutkan.. bisa2 ga tidur yang menulis ini dan pembaca juga -_-"

      Hapus