"saat langit biru bermain dengan awan – awan cantik berpadu dengan warna kontras menghasilkan ke-luarbiasa-an yang sangat mengagumkan"
Jakarta – Wonosobo
Cepat sekali laju bus berpendingin ini, beku dibuatnya hingga gigil tubuh tak lagi bisa ditutupi. Jakarta – Wonosobo perjalanan semalaman yang cukup lama untuk menikmati indahnya Sindoro dan Sumbing. Nanung sibuk menutup diri dengan tirai yang tersedia, saya setia dengan sorban kotak – kotak merah jambu pemberian dari Ayah sebagai penghalau angin dingin yang terus berhembus dari alat yang terus mengeluarkan hawa dingin yang nampak tak bisa dihentikan lajunya. Malam ini cukup gelap, kelam, mendung tak ada bintang gemintang. Saya setia tak memejamkan mata hingga bus ini berhenti di rumah makan yang cukup besar. Saya lapar.
Gunung Sindoro dari Puncak Gunung Sumbing |
Udara dingin bus rupanya membuat energi saya terbuang cukup banyak. Menggigil, salah satu kegiatan yang memakan banyak energi terutama glukosa apalagi jika belum makan, bisa – bisa glikogen yang terdapat pada otot saya bisa terurai, tidak, itu tidak boleh terjadi. Saya bisa semakin kurus. Jadi tak salah jika saat tiba di rumah makan saat rehat malam itu saya dan Nanung memesan teh sangat manis dan hangat serta seporsi nasi padang lengkap dengan daging berwarna coklat, berbumbu sedikit pedas dan direbus cukup lama, rendang.
Kenyang sudah, bus kembali melaju dengan kecepatan yang stabil. Lampu kembali dimatikan tak ada sinar bahkan dari lampu lalu lintas pun tak ada, gelap. Dingin masih terus berhembus sampai pagi menjelang. Mentari yang bersinar indah tak cukup menembuskan cahaya hangatnya pagi. Bus masih melaju dengan konstan sampai kami tiba di Wonosobo.
Langit biru dengan hiasan awan tipis menyambut kami di Wonosobo dan segera menuju Desa Kledung, Temanggung, Jawa Tengah. Rute pertama yang akan kami nikmati adalah Gunung Sindoro yang mempunyai ketinggian sekitar 3150 mdpl. Setibanya di gapura Desa Kledung, pemandangan begitu memanjakan mata, dua gunung yang seakan kembar begitu cantik berhiaskan permata hijau dengan alunan biru langit yang cerah. Sindoro Sumbing.
dari gerbang Desa Kledung |
Saya dan Nanung hanya bermodalkan catatan perjalanan dari para sesepuh di OANC sama sekali tidak memperhitungkan waktu dengan matang. Jadi, ketika dirasa sudah cukup beristirahat kami berdua segera menuju basecamp Sindoro yang hanya berjarak 100 meter dari jalan utama. Registrasi dan repacking, awalnya mau sarapan, namun karena tidak tersedia makanan berat dan warung belum ada yang buka jadi kami memutuskan untuk langsung menapaki jalan setapak sebelum terik.
Diawal perjalanan kita akan melewati rumah – rumah penduduk mungkin sekitar 500 meter, namun setelah itu melewati perkebunan sayur yang sangat terbuka. Hijau namun tidak teduh, tepat jam 9 pagi sinar matahari yang saat itu sedang senang membagikan pendaran cahaya sama sekali tidak bisa dihindari, kecuali kami berdua berlindung diantara pepohonan rindang yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Jalur bebatuan sampai di pintu hutan mungkin sekitar 2 km. Kami berdua juga sempat salah mengambil jalur, ketika ada pertigaan ke kanan dan ke kiri kami sempat istirahat sejenak, kemudian mengambil inisiatif untuk mengarah ke kanan dan yang terjadi adalah jalur menuju perkebunan warga yang ada dibalik bukit. Lumayan 30 menit yang melelahkan.
jalan bebatuan & ladang menuju pos 1, di belakang Nanung terlihat Gunung Sumbing |
Setelah diberi tahu oleh penduduk setempat yang kebetulan sedang bertani kami berbalik arah dan menemukan jalan yang benar. Alhamdulillah. Jalan menuju pos 1 dari pertigaan tempat kami tersasar rupanya hanya berjarak kurang dari 10 menit perjalanan. Bangunan sangat sederhana pertanda ini adalah pos 1, kata penduduk setempat.
Nanung dengan kameranya yang tidak dipakai karena konsentrasi dengan video |
bedeng pos 1 |
Terik matahari di jam 10.34 terus menerpa kulit, padahal baru sampai di pos 1, kami sudah menghabiskan 0,5 liter air dan beberapa potong roti. Pengganjal perut karena kami belum sarapan. Beberapa pendaki terlihat lalu lalang untuk turun gunung di saat kami mulai meniti kembali langkah – langkah kecil menuju pos 2.
Jalur menuju pos 2 berhiaskan atap hijau pepohonan yang cukup rindang, lumayan untuk menghindari terpapar sinar matahari terlalu terik pagi ini. Jalur tanah merah masih mendominasi. Saya masih tetap berjalan di belakang mengikuti Nanung.
Dan tiba di sebuah tempat agak luas, dikelilingi pepohonan setinggi manusia namun berdaun kecil mungkin ini pos 2. Saat bertemu dengan pendaki lain pun mereka mengatakan hal yang sama. 11.40 istirahat sebentar saja, hari sudah semakin siang, berdasarkan catatan nanti jalur akan semakin terbuka.
Kembali memulai perjalanan, kali ini cukup jauh menuju pos 3, jalur sudah sedikit terbuka namun masih cukup teduh. Beberapa kali kami sempat beristirahat, mungkin karena karbohidrat dari roti yang tadi kami makan sudah habis terbakar, kami sudah lelah. Tanah merah yang kami tempati untuk beristirahat ini unik, mungkin karena daerah ini terlalu kering dan menurut kabar dari basecamp sudah lebih dari seminggu tidak turun hujan, jadi tanah merah merekah karena kekeringan ini terasa sangat panas dan berasap.
Selama 1 jam lebih berjalan menapaki tanah merah panas berasap tibalah kami di tanah lapang, pos 3. Ada beberapa pendaki yang awalnya saya kira akan menjadi teman bermalam di dataran tinggi ternyata keliru, mereka akan segera turun sesaat setelah kami tiba. Hari memang sudah siang, jam 13.09. Sudah semakin malas untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak, tapi kalau mau bermalam di sini juga cukup beresiko jika tidak ada yang menunggu ketika esok kami ke pucak, selain jarak yang masih cukup jauh untuk sampai ke puncak. Setelah berfikir – fikir berhubung masih siang dan rasanya agak aneh jika sudah buka camp, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan entah sampai batas mana kami sanggup dan mulai malas untuk jalan.
Dari pos 3 jalur menanjak sangat mendominasi. Tanah merah yang merekah kering membuat debu berterbangan semakin pekat. Partikel debu tipis perlahan terbang ke angkasa terkena hempasan kaki – kaki kecil kami. Terus menanjak dan sesekali beristirahat. Rupanya kami sudah mulai mengantuk. Sambil terus jalan menanjak, kami juga mencari lahan datar paling tidak untuk mendirikan tenda kapasitas 2 orang yang cukup teduh dan rindang untuk menghindari angin. Kami menemukan tempat yang cukup ideal dan sepertinya aman tepat saat adzan ashar, yang entah dari mana suara adzan tersebut bisa terdengar sampai tempat kami mendirikan tenda.
Hari memang masih sore namun, matahari sudah tertutup gumpalan awan yang membuat sinarnya tak lagi jelas terlihat di sebelah barat, karena kami juga sudah suntuk berjalan, kami putuskan untuk mendirikan tenda di lokasi ini. Tenda telah berdiri dan segera membuat makan siang yang digabung dengan makan malam kemudian mengurungkan niat untuk menanti matahari terbenam karena kabut, kami berdua segera tidur.
Biru Langit Sindoro
Mungkin kali ini adalah tidur terlama saya selama berada di gunung. Sejak sebelum adzan magrib kemarin hingga subuh pagi ini, terbangun hanya untuk sholat. Matahari sudah menyipitkan sinarnya di ufuk timur, terlihat dari camp. Kami bergegas membuat sarapan pagi dan segera berangkat menuju puncak sebelum hari semakin siang.
Kalau ini hanya perasaan saya, tapi sepertinya keliru. Jalur dari tempat kami mendirikan tenda sampai ke puncak itu nanjak terus, beda dengan sebelumnya masih ada landai. Makin sering beristirahat, untungnya suhu tidak terlalu dingin. Sekitar 1 jam lamanya kami meniti jalur menanjak sampailah di puncak Sindoro, pastinya si Nanung sang porter sejati terlebih dulu sampai, saya sebagai tukang foto pribadinya tetap mengikuti di belakang.
Sepi, sunyi, hanya desingan angin yang terdengar serta suara dua anak manusia yang sedang mencoba mensyukuri nikmat Allah SWT. Hanya kami berdua yang berada di puncak saat ini, seperti dugaan sebelumnya. Begitu sampai langsung terlihat papan besi bertuliskan Puncak Sindoro 3150 mdpl diatas batu tersusun urakan dan tersaji pemandangan kawah purba di hadapan mata. Sambil mengelilingi bibir kawah, kami nikmati cemilan yang sudah disiapkan untuk mengganjal perut yang sedang berkontraksi.
kawah purba* |
Perlahan kami menuruni punggungan untuk sampai ke camp, namun sepertinya jauh karena sudah cukup lama menuruni turunan kami tidak segera sampai di tujuan. Di hadapan saya gunung Sumbing masih tertutup awan, hanya puncaknya yang cerah beratap langit biru nan terang. Di atas Sindoro pun begitu, awan yang menggelayuti langit perlahan menyingkir, biru langit yang dinanti hadir mengubah wajah mendung Sindoro pagi itu. Cerah, panas, saya suka. Tak jauh setelah saya menikmati pergantian awan dengan langit biru ada sebuah tempat yang tersusun oleh bebatuan di sebelah kiri jalur ketika kita turn. Di atas batu yang ternoda oleh coretan – coretan bukti eksistensi yang salah dari manusia - manusia yang tidak bertanggung jawab, kami berdiam diri untuk melihat dan menikmati langit biru disertai hembusan angin yang cukup kencang. Sejuk.
Puas menikmati hembusan angin yang menyejukkan, kami segera kembali ke camp. Ternyata jaraknya hanya hitungan menit dari onggokan batu tempat kami menikmati biru langit. Terkesan lama mungkin karena camp kami tertutup pepohonan sehingga tidak terlihat dari atas. Ketika sampai, kami tak berlama – lama karena matahari sudah terik bersinar, segera makan pagi. Karena persediaan air menipis, jadi harus benar – benar dihemat, bahkan untuk sekedar minum saat makan pagi kali ini. Hanya tersisa kurang dari 500 cc untuk sampai di basecamp.
mati gaya ala angan |
Setelah itu kami berdua mencari makan yang ternyata berada tak jauh dari basecamp. Lokasinya berada tepat dipinggir jalan, sangat enak namanya Ayam Kosek, harganyapun menyesuaikan dengan kualitas. Setelah makan enak dengan ditemani pemandangan yang menakjubkan kami kembali ke basecamp untuk berpamitan dan segera menuju Desa Garung yang terletak di bawah kaki gunung Sumbing menggunakan bus, yang sebenarnya jika kami mau berjalan juga bisa karena letaknya yang dekat dengan Desa Kledung. Esok kami akan menjejakkan langkah kecil kami di sana.
____
Terima kasih : Allah SWT, Orang Tua, Nanung, Singgih, Nesa, OANC dan semua teman yang mendukung.
Foto saya sedikit karena saya malu di foto dan si Nanung NARSIS-nya kelewatan! :D
Rupiah :
Jakarta > Wonosobo : 75.000 bisnis
Minibus Wonosobo > Basecamp Sindoro : 3.000
Minibus Basecamp Sindoro > Basecamp Sumbing : 1000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar