Senin, 26 September 2011

Santai di Ketinggian, Gunung Lawu, 5 - 6 Maret 2011

Gaya Baru Malam Selatan, KA ekonomi akan membawa kami menyusuri rel panjang dari Surabaya Gubeng hingga tiba di stasiun Solo Jebres. Sebelumnya Nesa dengan baik hati mengantarkan saya dan Jamil [penyebutan Awal selanjutnya] ke Stasiun Gubeng, dan di stasiun ini saya juga sempat bertemu dengan Clara, rekan seperjalanan waktu di Semeru lalu. Kami masih merahasiakan kepergian kami ke Latimojong saat itu, entah tujuannya apa yang jelas saat itu kami masih ingin menyembunyikannya.

Menuju Solo
Tepat pukul 2 siang GBMS merangkak meninggalkan Gubeng, di kejauhan terlihat Clara masih menanti Sri Tanjung, dan Nesa mungkin sudah kembali ke rumahnya karena sore nanti akan menjemput ayahnya yang baru kembali setelah berlayar.  Gunung Lawu (3.265 mdpl) yang terletak diperbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi target kunjungan saya dan Jamil selanjutnya dalam rangkaian liburan awal tahun, namun kali ini saya mengajak Dendy dan Mamet untuk bergabung. Jalur yang populer bisa melewati Cemoro Kandang atau Cemoro Sewu, kalau saya memilih jalur yang lebih cepat sampai, Cemoro Sewu.
Gunung Lawu
Tidak seperti biasanya kami berangkat bersama dari Jakarta, kali ini mereka berdua berangkat dengan waktu keberangkatan yang sama menggunakan Matarmaja. Saya sangat yakin pasti mereka akan telat sampai di Jebres.

Untuk pertama kalinya saya naik kereta ekonomi dalam keadaan yang tidak terlalu padat, mungkin karena bukan musim liburan. Selain itu GBMS juga tiba di Stasiun Solo Jebres tepat waktu sesuai dengan yang tercantum di tiket, jam 6 sore saya dan Jamil sampai. Jamil segera menghubungi teman kuliahnya yang kebetulan sedang berada di Solo. Tak lama menunggu akhirnya datang juga. Dila nama teman perempuan Jamil yang menjemput kami di stasiun.

Karena motor yang tersedia hanya satu, saya menjadi orang pertama yang berangkat menuju rumah Dila. Rumah yang masuk ke dalam kompleks Keraton Surakarta ini ternyata cukup jauh dari stasiun. Saya yang lama tidak mengendarai motor menjadi canggung, apalagi dengan boncengan yang agak aneh jika dilihat, tetapi alhamdulillah semua baik – baik saja walaupun saya sangat panik. Saat tiba di rumah Dila saya disambut oleh adik – adik Dila dan juga kedua orang tuanya. Dila kembali ke Stasiun untuk menjemput Jamil dan saya menunggu dengan manis sambil memperhatikan malam di kompleks Keraton yang sangat sepi.

Menata diri, membersihkan sisa peluh yang dikeluarkan sewaktu perjalanan menuju Solo sambil menunggu Jamil datang membawa makan malam. Saya lapar. 30 menit berlalu, Jamil datang dengan membawa rupa makanan yang agak aneh menurut saya, tak usah saya sebutkan karena makanan itu rupanya mudah ditemukan di jalan – jalan utama di Solo, rasanya enak. Malam ini saya dan Jamil akan beristirahat di kediaman Dila, di kompleks Keraton Surakarta yang sepi, sedangkan Dendy dan Mamet saya yakin mereka menikmati perjalanan menuju Solo di dalam Matarmaja nan tersohor itu. Selamat Malam.

Lawu, Di Sini Kami Berspekulasi dengan Cuaca
Pagi – pagi sekali saya terbangun. Dering suara HP membuyarkan kenikmatan mimpi yang sedang asik menggerayangi otak. Mamet memberi kabar mereka sudah tiba di Jebres, telat 3 jam dari yang seharusnya. Saya memberi instruksi untuk istirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Tawangmangu. Kembali terlelap setelah subuh karena saat itu udara Solo dingin, Jamil jangan ditanya, dia masih terlelap entah sedang mimpi atau tidak.

Menjelang jam 7 kami dibangunkan, lebih tepatnya dipaksa bangun karena hari sudah pagi dan aktivitas di rumah Dila sudah sibuk. Maklum saja saat itu bukan hari libur padahal hari Sabtu, jadi seisi keluarga Dila menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Pintu rumah dibuka lebar – lebar, mau tak mau kami harus bangun jika tidak ingin terlihat seperti kerbau yang kerjanya hanya tidur.

Tak lama setelah adik – adik Dila pergi ke sekolah, saya dan Jamil bergantian mandi dan kembali mengemas barang bawaan yang akan dibawa. Tak banyak, hanya barang pribadi kami berdua saja, tenda yang saya bawa untuk kemah di Latimojong saya tinggal, kami akan memakai tenda yang dibawa Mamet. Makanan dan segala perlengkapan lain Dendy sudah menyediakannya. Saya senang.

Kami diantar Dila menuju pertigaan entah saya lupa namanya, yang jelas dari pertigaan itu kami akan naik bis jurusan terminal Solo dengan biaya Rp 2.000, baru kemudian naik bis jurusan Tawangmangu dengan bayaran Rp. 5.000 atas usulan dari kenalan baru kami. Selama di perjalanan Mamet sibuk SMS saya tentang keberadaan saya dan Jamil, karena terlalu sering sampai saya malas untuk membalas. Biarlah, yang jelas saya sudah menginstruksikan untuk beristirahat di terminal Tawangmangu jika mereka sudah sampai lebih dahulu. Selain itu saya juga bertemu dengan rombongan pecinta alam masyarakat yang akan mengunjungi Lawu untuk diklat. Menarik, banyak bertukar cerita tentang kegiatan yang mereka lakukan dan saya pun tak mau ketinggalan menggali informasi ketika salah satu dari mereka bercerita tentang dahsyatnya letusan Merapi baru – baru ini. Karena pembicaraan yang menarik itu tak terasa kami sudah hampir sampai di Terminal Tawangmangu.

Siang yang dingin di Terminal Tawangmangu. Segera menghubungi Dendy untuk bergabung bersama. Kami akan naik elf untuk sampai di basecamp Cemoro Sewu tarif tergantung kesepakatan. Bersaman dengan penduduk sekitar yang membawa hasil bumi, kami melaju perlahan. Karena jalan yang dilalui terus menanjak, sempat elf yang kami tumpangi berhenti sejenak. Seperti akan meledak, elf itu mengeluarkan asap yang sangat pekat. Ahh, sudah semakin siang, kami tak mau kemalaman sampai di pos akhir. Namun, setelah diperbaiki sebentar elf kami kembali jalan dengan santai. Saya kembali terpesona dengan pemandangan yang disajikan sampai saya tak lagi memikirkan kondisi elf yang baru saja mengalami keanehan, sungguh indah.

Jam 11.35 kami sampai di depan basecamp Cemoro Sewu. Rombongan pecinta alam yang terpisah dengan rombongan akhirnya bertemu di sini. Saya hanya ikutan berkenalan sepintas saja, saya malu bukan siapa – siapa. Kami diajak bergabung untuk menyusuri tangga batu setapak oleh mereka, karena hanya berdasarkan informasi dari Nesa kami meng-iya-kan ajakan.
Pintu Masuk Cemoro Sewu
Berdoa
Tak menunggu waktu lebih lama lagi, dengan membayar Rp. 5000 dan setelah berdoa serta karena kabut mulai menutupi pandangan, saya dan teman yang lain mulai menapaki jalan setapak yang sudah tersusun rapih oleh bebatuan cadas. Melewati perkebunan warga, jalan sedikit menanjak dan tiba – tiba matahari kembali bersinar dengan cerah, saya lupa tidak membawa slayer ataupun penutup muka, hanya berharap ketika turun wajah saya masih bisa dikenali. Hal yang aneh dan spekulatif juga terjadi ketika kami sadar kami belum memiliki air minum untuk sekedar menghalau haus. Untunglah saat perjalanan menuju pos 1 kelembaban begitu terjaga sehingga kemungkinan untuk haus pun sedikit berkurang, dan di pos 1 ini saya membeli air minum untuk dikonsumsi selama perjalanan menuju Sendang Drajat.
Pos 1
Setelah solat dzuhur kami kembali menapaki tangga setapak bebatuan rapih yang membawa kami menuju pos 2. Rombongan yang awalnya berjalan beriringan terpecah menjadi 2 rombongan. Di rombongan depan ada Sabar dan Salim yang merupakan dua anak SMA yang sedang lucu – lucunya ingin tahu rasanya naik gunung, ditemani Mamet. Dan dirombongan ke dua ada Dendy dan Jamil serta sisa dari rombongan Sabar yang jumlahnya agak banyak sampai saya tidak hapal nama. Sedangkan saya sendiri ditengah menjaga jarak agar rombongan pertama yang naik sambil berlari tidak terlalu jauh dengan rombongan kedua yang jalan santai. Sesekali saya jalan agak cepat untuk mengejar rombongan pertama sampai terdengar suara manusia berbicara lepas. Kami sampai di pos 2. Istirahat sejenak membuat roti isi untuk makan siang. Di pos 2 ini, jika dalam keadaan mendesak bisa digunakan sebagai tempat camp, karena memiliki areal datar yang cukup luas.
Hutan Lawu *Gersang*
Pos 2
Matahari ingin bersinar, namun awan begitu pekat menghalangi sinarnya menembus hutan yang mulai botak jika tidak mau disebut gersang di Lawu. Sudah jam 2 siang, rombongan kedua belum juga sampai di pos 2. Sabar dan Salim kembali menapaki tangga batu setapak diikuti Mamet. Ketika saya menunggu 15 menit di pos 2 setelah Mamet melanjutkan perjalanan, rombongan kedua tak kunjung terlihat batang hidungnya. Saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Agak khawatir dengan 3 orang di depan sana. Perlahan tapi pasti rupanya ketiga orang itupun masih tidak terlalu jauh jarak antara saya dengan mereka. Mamet kembali di posisi depan, diikuti Salim dan Sabar kemudian saya sendiri. Saya sendiri sering tertawa sendiri ketika melihat dua anak SMA ini berlari kemudian sesak napas sendiri akibat perbuatannya. Dan mereka hanya berkomentar : “Mas, ga lelah? Daritadi sepertinya senyum – senyum saja, beda dengan Mas Mamet yang jalan nunduk dan sesaat kemudian sudah jauh di depan”. Saya pun menjawab : “ Lelah, siapa bilang naik gunung tidak lelah, hanya saya mencoba menghibur diri dengan tampilan yang ada di hadapan saya, saya nikmati  kemudian tersenyum. Dengan begitu kita tidak akan mudah bosan. Selain itu jika kita jalan perlahan tapi pasti, saya yakin kerja jantung tak akan terlalu berat, dan napas juga bisa diatur sesuai dengan kemampuan”

Setelah memberikan penjelasan kepada Sabar dan Salim sambil istirahat sejenak membiarkan Mamet yang jauh di depan sana, kami bertiga kembali melanjutkan meniti anak tangga batu. Kali ini Sabar dan Salim tidak lagi berlari seperti di awal, mereka jalan perlahan beriringan dengan saya dan diselingi sedikit cerita khas anak SMA tentang wanita. Lucu sekali.

Matahari semakin condong ke barat, di kejauhan terlihat sebuah bangunan tampak di ketinggian. Sebuah bangunan yang kokoh tetapi kurang terawat. Kami berada di pos 3 untuk istirahat sejenak sambil menunggu teman – teman yang lain.
Pos 3
Rupanya obrolan – obrolan yang memakan waktu cukup lama tak juga membuat teman – teman yang lain datang. Udara semakin dingin karena kabut yang tadi sempat mengup kembali turun. Hari sudah menunjukkan jam 3. 30 sore, saya melanjutkan perjalanan masih di belakang Mamet, Sabar dan Salim.

Bau belerang yang entah dari mana membuat perjalanan menjadi tidak nyaman. Rintik hujan yang awalnya saya pikir adalah kabut terus menerus membasahi bumi. Angin semakin kencang berhembus membuat refleks gerak kaki mempercepat langkah. Sampai ketika kabut benar – benar pekat dihadapan, kami tiba di sebuah tanah lapang agak luas. Ada jalur lurus dan menurun ke sebelah kanan tetapi tertutup kabut tebal. Akhirnya saya memilih jalur lurus. Ada serakan sampah permen yang menurut saya menandakan daerah ini pernah dikunjungi, serta jalan setapaknya pun jelas, namun ketika sampai di ujung jalan, kok sepertinya jalur ini memutar puncak dahulu baru kemudian bertemu Sendang Drajat. Tak menunggu waktu lama saya memutuskan untuk kembali ke titik awal. Dengan harapan menunggu rombongan ke dua yang akan segera bertemu.

Hal yang tak diduga, ketika kami akan kembali ke titik awal persimpangan hujan deras sempat turun. Namun saat tiba di jalur persimpangan tersebut, terbukalah jalur di sisi sebelah kanan yang agak menurun. Jalur yang tadi tertutup kabut sangat tebal. Rupanya ini yang mau ditunjukkan oleh burung yang dari tadi mengikuti kami. Ya, dari awal pos 3 sampai di tempat ini burung kecil seperti burung gereja mengikuti kami terus. Berteduh sebentar menunggu sampai hujan agak reda.
sempat melewati jalur ini ketika kabut tebal
saat tertutup kabut jalur ini sama sekali tidak terlihat
Saat kabut sedikit tersingkap dari hadapan, Mamet dan Sabar lebih dulu melanjutkan perjalanan. Saya dan Salim menyusul 5 menit kemudian. angin kencang berhembus tanpa permisi. Sedikitnya pohon yang mengelilingi jalur membuat saya seakan terbawa angin. Tak lama kami berjalan, sampailah di kumpulan gubuk – gubuk kecil dan beberapa tenda sudah berdiri. Ketika sampai, hujan kembali turun dengan sangat deras dan angin pun semakin kencang. Saya putuskan untuk menunggu Dendy dan Awal di sini.

30 menit kemudian mereka datang dengan muka sedikit pucat. Nampaknya mereka mengejar waktu agar tidak terguyur hujan yang semakin deras. Gubuk yang sedari tadi jadi tempat saya berteduh rupanya warung, tak berfikir panjang lagi, saya segera memesan mi rebus dan teh hangat. Mengingat belum makan siang, jadi karbohidrat dengan paduan protein dari telur nampaknya tidak salah. Harga makanan di ketinggian sama dengan harga makanan di dataran rendah. Saya masuk ke dalam warung menghangatkan badan, begitupun Mamet. Dendy dan Jamil mencari tempat mendirikan tenda.

Setelah saya selesai makan, rupanya hari sudah gelap. Angin semakin kencang berhembus. Menunggu Dendy dan Jamil makan, saya kembali ke dalam warung. Tak lama, Mamet dan Jamil mendirikan tenda tak jauh dari warung tempat kami makan. Saya tidak ikut membantu karena kedinginan.

Tenda berdiri, saya mengajak pula Sabar dan Salim serta teman – temannya untuk ikut berteduh di tenda kami. Tenda yang berkapasitas 4 orang dipaksakan menampung 7 orang. Menumpuklah kami di dalam tenda seperti ikan asin. Strategi tidur sangat diperlukan demi kenyamanan. Hujan yang tak kunjung berhenti membuat kami khawatir dengan teman – teman Sabar yang lain. Walaupun ada 2 sesepuh yang berada mengikuti mereka tetap saja dengan udara dingin seperti ini tak menutup kemungkinan hal buruk terjadi, tetapi kami berharap semua akan baik – baik saja. Istirahat dalam hujan dan angin, kami bertujuh tertidur lebih awal dengan harapan esok akan cerah dan mendapatkan momentum matahari terbit terbaik. Kembali berspekulasi.

Keramaian Hargo Dumilah
Keramaian nampak terdengar dari dalam tenda, masih dingin. Saya buka pintu tenda dan teryata hari sudah terang. Saya tertinggal moment matahari terbit. Mendung. Di luar sudah berkumpul teman – teman Sabar dan Salim, mereka sampai di Sendang Drajat jam 10 malam tadi. Kami sedang asik bercengkrama dalam mimpi indah.
Camp Sendang Drajat
Bersama kami persiapkan diri menuju Hargo Dumilah, puncak tertinggi Gunung Lawu. Menyusuri jalan setapak dan memotong jalur langsung yang dikelilingi oleh rerumputan setinggi betis berhiaskan edelweis yang cantik menanti berkembang. Cantigi yang tinggi juga ikut menjadi bagian visualisasi pagi yang dingin ini. Tak ada angin kencang, hanya suhu yang dingin cukup menggigit ujung organ sensitif. Tak butuh waktu lama dari Sendang Drajat untuk mencapai Hargo Dumilah, hanya 30 menit jalan santai kami tiba.
Pagi di Sendang Drajat
Menuju Puncak
Tugu Hargo Dumilah 3.265 mdpl *penuh coretan eksistensi*
Puncak rupanya ramai, mereka nampak berpesta dengan pencapaiannya. Saya bingung harus bagaimana, selain bersyukur kemudian segera mengambil foto. Matahari tampak masih tertutup awan, namun kota di bawah sana terlihat jelas, indah. Langit biru yang dinanti belum juga muncul, tetapi harapan masih ada. Saya yakin, langit biru pasti datang. Dari atas sini terlihat kawah tua yang terisi air dengan rumput menguning yang ikut menemani. Angin tiba – tiba berhembus kencang, karena dingin saya tak akan berlama – lama di puncak. 30 menit saya rasa cukup menikmati keindahan Lawu dari atas sini.
Mendung Membiru
Mentari Malu - Malu
Mendung Membiru
Puncak Hargo Dumilah
Mau tak Mau Bersinar
Laguna *
tak kunjung terbuka si awan kelam
Keramaian Hargo Dumilah
Menuruni puncak masih dengan jalur yang sama, kami berempat telah berpisah dengan rombongan Sabar dan Salim di puncak sana. Menuruni jalan setapak merupakan hal yang kurang saya sukai, selain licin tak ada pijakan membuat saya sering terpeleset. Ketika saya, Dendy dan Jamil sampai di pertigaan menuju Sendang Drajat dan Hargo Dalem, rupanya Mamet masih tertinggal jauh di atas sana. Bukan karena dia kami tinggal, tetapi karena dia sedang foto – foto narsis dengan kamera HP-nya ditengah – tengah bunga edelweis. Ah, kenapa dia tidak bilang jika mau di foto. Memang, orang tua itu sungguh misterius dan aneh.
Kanan Sendang Drajat, Kiri Hargo Dalem
Kota Pagi Ini
Punggungan
Sebelum kembali ke Sendang Drajat, kami mengunjungi Hargo Dalem, hanya untuk sekedar melihat ada apa di sana. Selain itu adanya pendopo dengan bau dupa yang sangat mencolok membuat saya penasaran dengan apa yang ada. Semacam tempat peribadatan yang tak saya ambil gambar. Puas mengunjungi Hargo Dalem, kami kembali ke Sendang Drajat karena dihantui rasa lapar yang amat sangat.
Warung Mbok Yem yang ada keramaian
Saat sedang asik memasak, rombongan Sabar dan Salim bertemu lagi, mereka tidak jadi turun melalui Cemoro Kandang dan memilih melewati Cemoro Sewu yang lebih cepat. Berpamitan dan janji mereka akan menunggu kami di basecamp untuk bersama – sama kembali ke Solo. Kembali memasak, dan kali ini rombongan TNI AD satu per satu bermunculan. Ketika sampai mereka langsung membasuhkan wajah di sumber ait yang katanya dikeramatkan itu. Entah apa yang ada dibenak mereka, saya asik dengan hasil karya masakan Jamil dan Mamet.

Jam 11 Siang, Sendang Drajat
Jamil, Mamet, Dendy --> The Porter
Jam 11 siang, saat matahari sedang asik bersinar, kami pun sudah bersiap untuk menuruni jalan tangga batu setapak yang tersusun rapi. Hari ini rombongan dari kampus saya rencananya akan memulai pendakian melalui Cemoro Sewu, harapannya kami dapat berpapasan kalau tidak di pos 2 ya di pos 3. Posisi turun kali ini Mamet dan Dendy yang biasanya selalu lebih dulu, mereka kali ini memilih di belakang, dengan alasan kalau di depan mereka tidak akan di foto karena kamera saya yang pegang. Sedangkan saya dan Jamil di posisi depan. Jalan santai saya rupanya membuat mereka tertinggal jauh di belakang sana.

Menjelang pos 2 rupanya benar – benar jauh jarak antara Mamet dan Saya. Sampai ketika Mamet berteriak memanfaatkan efek gema mengatakan bahwa sendalnya putus. Berhubung sendal ada di tas saya jadi saya sangkutkan saja sendal itu di pepohonan. Setelah itu saya dan Jamil kembali melanjutkan perjalanan turun. Melewati para anggota TNI AD yang akan berkunjung ke Hargo Dumilah jika mereka mau, dan dilewati oleh pedagang wanita tua yang kemarin memasakkan mi rebus untuk saya. Luar biasa. Wanita tua itu berjalan sangat cepat, padahal saat saya turun tadi beliau sedang melayani para anggota TNI AD yang kelaparan di Sendang Drajat. Saya yakin beda waktu turunnya cukup jauh. Sakti sekali wanita itu.
Eagle Rock
Saat janjian mau beristirahat di pos 2 rupanya pos begitu ramai, tidak nyaman untuk meluruskan kaki, jadi saya dan Jamil meneruskan perjalanan hingga sampai di pos 1. Rupanya di sini juga masih ramai dengan para anggota TNI yang sepertinya mereka sudah berumur. Tidak jadi beristirahat. Sampai saatnya tiba di perkebunan warga berarti basecamp semakin dekat. Niat mau beristirahat dirungkan dengan berkamuflase foto. Semakin teriknya matahari karena tak ada awan yang menutupi, saya dan Jamil kembali meniti jalan setapak menurun. Dan sampai di basecamp.

Salim dan Sabar sedang asik menegak teh dingin, kemudian saya kebingungan sendiri mencari rombongan kampus yang seharusnya sudah mulai menapaki jalan setapak, namun hingga siang ini di basecamp pun tidak ada. Saat ini sudah 12.30 waktu normal perjalanan turun dari Sendang Drajat sampai di basecamp. 30 menit kemudian Mamet dan Dendy tiba. Mereka tampak murung.

Ransel Dendy putus, hingga ia harus berjalan seperti Ninja Hatori dengan satu tangan memegang kebelakang menghindari efek equilibrium yang terjadi. Kemudian rupanya si Mamet itu keberatan dengan ransel yang ia bawa. Ransel yang saat naik saya bawa itu awalnya akan dibawa Jamil saat turun, itu sudah perjanjian saya dengan Jamil. Namun, saat di Sendang Drajat si Mamet dengan senang hati menawarkan diri untuk membawakan ransel saya, sudah beberapa kali saya pastikan keyakianan untuk membawa ransel saya, dan ia yakin. Akhirnya saat turun saya membawa daypack yang awalnya dibawa Jamil, Dendy masih dengan ransel awal, kemudian Mamet dengan ransel saya dan Jamil dengan ransel Mamet. Muka Mamet sungguh minta diledek, mungkin ia kesal, tapi dengan begitu membuatnya menjadi semakin aneh.
Pos Pendakian Gunung Lawu, bersama Sabar dan Salim
Setelah beberes, tanpa ada kaca untuk melihat penampakan wajah saya. Saat menjelang jam 3 sore rupanya rombongan kampus baru saja datang. Dan ka Dedi dengan senang hati mengatakan bahwa wajah saya seperti digosok arang. Damn! Berarti wajah saya sudah begitu hitam, padahal susah payah saya menghalau kehitaman untuk mengkamuflase pihak kantor bahwa saya jalan – jalan jauh. Hufh. Oke, karena kami sudah bertemu di basecamp Cemoro Sewu, saya segera berpamitan dengan rombongan kampus untuk kembali ke Solo bersama rombongan Sabar dan Salim, dan mempersilahkan mereka untuk segera menapaki tangga jalan setapak dari bebatuan dengan asumsi waktu yang saya berikan 6 jam untuk menaiki hingga Sendang Drajat dan turun 1 jam 30 menit dihari berikutnya. Semangat!

_____________
Terimakasih buat :
*Allah SWT atas semua kenikmatan yang diberikan
*Nesa yang telah membantu segala sesuatu selama di Surabaya dan info tentang Lawu
*Singgih untuk summertime-nya
*Keluarga Dila di Solo
*Rombongan Sabar dan Salim yang mewarnai hari dan ikut dalam pembicaraan dewasa malam hari
*The Team : Jamil, Dendy dan Mamet

1 komentar:

  1. tulisan lw ceritain smuanya, gw suka kecuali tulisan "orang tua itu memang misterius dan aneh"... teganya dirimuu..

    BalasHapus