Gaya Baru Malam Selatan, KA ekonomi akan
membawa kami menyusuri rel panjang dari Surabaya Gubeng hingga tiba di stasiun
Solo Jebres. Sebelumnya Nesa dengan baik hati mengantarkan saya dan Jamil
[penyebutan Awal selanjutnya] ke Stasiun Gubeng, dan di stasiun ini saya juga
sempat bertemu dengan Clara, rekan seperjalanan waktu di Semeru lalu. Kami
masih merahasiakan kepergian kami ke Latimojong saat itu, entah tujuannya apa
yang jelas saat itu kami masih ingin menyembunyikannya.
Menuju Solo
Tepat pukul 2 siang GBMS merangkak
meninggalkan Gubeng, di kejauhan terlihat Clara masih menanti Sri Tanjung, dan
Nesa mungkin sudah kembali ke rumahnya karena sore nanti akan menjemput ayahnya
yang baru kembali setelah berlayar. Gunung
Lawu (3.265 mdpl) yang terletak diperbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi
target kunjungan saya dan Jamil selanjutnya dalam rangkaian liburan awal tahun,
namun kali ini saya mengajak Dendy dan Mamet untuk bergabung. Jalur yang
populer bisa melewati Cemoro Kandang atau Cemoro Sewu, kalau saya memilih jalur
yang lebih cepat sampai, Cemoro Sewu.
Gunung Lawu |
Tidak seperti biasanya kami berangkat
bersama dari Jakarta, kali ini mereka berdua berangkat dengan waktu
keberangkatan yang sama menggunakan Matarmaja. Saya sangat yakin pasti mereka
akan telat sampai di Jebres.
Untuk pertama kalinya saya naik kereta
ekonomi dalam keadaan yang tidak terlalu padat, mungkin karena bukan musim
liburan. Selain itu GBMS juga tiba di Stasiun Solo Jebres tepat waktu sesuai
dengan yang tercantum di tiket, jam 6 sore saya dan Jamil sampai. Jamil segera
menghubungi teman kuliahnya yang kebetulan sedang berada di Solo. Tak lama
menunggu akhirnya datang juga. Dila nama teman perempuan Jamil yang menjemput
kami di stasiun.
Karena motor yang tersedia hanya satu,
saya menjadi orang pertama yang berangkat menuju rumah Dila. Rumah yang masuk
ke dalam kompleks Keraton Surakarta ini ternyata cukup jauh dari stasiun. Saya
yang lama tidak mengendarai motor menjadi canggung, apalagi dengan boncengan
yang agak aneh jika dilihat, tetapi alhamdulillah semua baik – baik saja
walaupun saya sangat panik. Saat tiba di rumah Dila saya disambut oleh adik –
adik Dila dan juga kedua orang tuanya. Dila kembali ke Stasiun untuk menjemput
Jamil dan saya menunggu dengan manis sambil memperhatikan malam di kompleks Keraton
yang sangat sepi.
Menata diri, membersihkan sisa peluh yang
dikeluarkan sewaktu perjalanan menuju Solo sambil menunggu Jamil datang membawa
makan malam. Saya lapar. 30 menit berlalu, Jamil datang dengan membawa rupa
makanan yang agak aneh menurut saya, tak usah saya sebutkan karena makanan itu
rupanya mudah ditemukan di jalan – jalan utama di Solo, rasanya enak. Malam ini
saya dan Jamil akan beristirahat di kediaman Dila, di kompleks Keraton
Surakarta yang sepi, sedangkan Dendy dan Mamet saya yakin mereka menikmati
perjalanan menuju Solo di dalam Matarmaja nan tersohor itu. Selamat Malam.
Lawu, Di Sini Kami Berspekulasi dengan
Cuaca
Pagi – pagi sekali saya terbangun. Dering
suara HP membuyarkan kenikmatan mimpi yang sedang asik menggerayangi otak.
Mamet memberi kabar mereka sudah tiba di Jebres, telat 3 jam dari yang
seharusnya. Saya memberi instruksi untuk istirahat dulu sebelum melanjutkan
perjalanan menuju Tawangmangu. Kembali terlelap setelah subuh karena saat itu
udara Solo dingin, Jamil jangan ditanya, dia masih terlelap entah sedang mimpi
atau tidak.
Menjelang jam 7 kami dibangunkan, lebih
tepatnya dipaksa bangun karena hari sudah pagi dan aktivitas di rumah Dila
sudah sibuk. Maklum saja saat itu bukan hari libur padahal hari Sabtu, jadi
seisi keluarga Dila menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Pintu rumah dibuka
lebar – lebar, mau tak mau kami harus bangun jika tidak ingin terlihat seperti
kerbau yang kerjanya hanya tidur.
Tak lama setelah adik – adik Dila pergi
ke sekolah, saya dan Jamil bergantian mandi dan kembali mengemas barang bawaan
yang akan dibawa. Tak banyak, hanya barang pribadi kami berdua saja, tenda yang
saya bawa untuk kemah di Latimojong saya tinggal, kami akan memakai tenda yang
dibawa Mamet. Makanan dan segala perlengkapan lain Dendy sudah menyediakannya.
Saya senang.
Kami diantar Dila menuju pertigaan entah
saya lupa namanya, yang jelas dari pertigaan itu kami akan naik bis jurusan
terminal Solo dengan biaya Rp 2.000, baru kemudian naik bis jurusan Tawangmangu
dengan bayaran Rp. 5.000 atas usulan dari kenalan baru kami. Selama di
perjalanan Mamet sibuk SMS saya tentang keberadaan saya dan Jamil, karena
terlalu sering sampai saya malas untuk membalas. Biarlah, yang jelas saya sudah
menginstruksikan untuk beristirahat di terminal Tawangmangu jika mereka sudah
sampai lebih dahulu. Selain itu saya juga bertemu dengan rombongan pecinta alam
masyarakat yang akan mengunjungi Lawu untuk diklat. Menarik, banyak bertukar
cerita tentang kegiatan yang mereka lakukan dan saya pun tak mau ketinggalan
menggali informasi ketika salah satu dari mereka bercerita tentang dahsyatnya
letusan Merapi baru – baru ini. Karena pembicaraan yang menarik itu tak terasa
kami sudah hampir sampai di Terminal Tawangmangu.
Siang yang dingin di Terminal
Tawangmangu. Segera menghubungi Dendy untuk bergabung bersama. Kami akan naik
elf untuk sampai di basecamp Cemoro Sewu tarif tergantung kesepakatan. Bersaman
dengan penduduk sekitar yang membawa hasil bumi, kami melaju perlahan. Karena
jalan yang dilalui terus menanjak, sempat elf yang kami tumpangi berhenti
sejenak. Seperti akan meledak, elf itu mengeluarkan asap yang sangat pekat.
Ahh, sudah semakin siang, kami tak mau kemalaman sampai di pos akhir. Namun,
setelah diperbaiki sebentar elf kami kembali jalan dengan santai. Saya kembali
terpesona dengan pemandangan yang disajikan sampai saya tak lagi memikirkan
kondisi elf yang baru saja mengalami keanehan, sungguh indah.
Jam 11.35 kami sampai di depan basecamp
Cemoro Sewu. Rombongan pecinta alam yang terpisah dengan rombongan akhirnya
bertemu di sini. Saya hanya ikutan berkenalan sepintas saja, saya malu bukan
siapa – siapa. Kami diajak bergabung untuk menyusuri tangga batu setapak oleh
mereka, karena hanya berdasarkan informasi dari Nesa kami meng-iya-kan ajakan.
Pintu Masuk Cemoro Sewu |
Berdoa |
Pos 1 |
Hutan Lawu *Gersang* |
Pos 2 |
Setelah memberikan penjelasan kepada
Sabar dan Salim sambil istirahat sejenak membiarkan Mamet yang jauh di depan
sana, kami bertiga kembali melanjutkan meniti anak tangga batu. Kali ini Sabar
dan Salim tidak lagi berlari seperti di awal, mereka jalan perlahan beriringan
dengan saya dan diselingi sedikit cerita khas anak SMA tentang wanita. Lucu
sekali.
Matahari semakin condong ke barat, di
kejauhan terlihat sebuah bangunan tampak di ketinggian. Sebuah bangunan yang
kokoh tetapi kurang terawat. Kami berada di pos 3 untuk istirahat sejenak
sambil menunggu teman – teman yang lain.
Pos 3 |
Bau belerang yang entah dari mana membuat
perjalanan menjadi tidak nyaman. Rintik hujan yang awalnya saya pikir adalah
kabut terus menerus membasahi bumi. Angin semakin kencang berhembus membuat
refleks gerak kaki mempercepat langkah. Sampai ketika kabut benar – benar pekat
dihadapan, kami tiba di sebuah tanah lapang agak luas. Ada jalur lurus dan
menurun ke sebelah kanan tetapi tertutup kabut tebal. Akhirnya saya memilih
jalur lurus. Ada serakan sampah permen yang menurut saya menandakan daerah ini
pernah dikunjungi, serta jalan setapaknya pun jelas, namun ketika sampai di
ujung jalan, kok sepertinya jalur ini memutar puncak dahulu baru kemudian
bertemu Sendang Drajat. Tak menunggu waktu lama saya memutuskan untuk kembali
ke titik awal. Dengan harapan menunggu rombongan ke dua yang akan segera
bertemu.
Hal yang tak diduga, ketika kami akan
kembali ke titik awal persimpangan hujan deras sempat turun. Namun saat tiba di
jalur persimpangan tersebut, terbukalah jalur di sisi sebelah kanan yang agak
menurun. Jalur yang tadi tertutup kabut sangat tebal. Rupanya ini yang mau
ditunjukkan oleh burung yang dari tadi mengikuti kami. Ya, dari awal pos 3
sampai di tempat ini burung kecil seperti burung gereja mengikuti kami terus. Berteduh
sebentar menunggu sampai hujan agak reda.
sempat melewati jalur ini ketika kabut tebal |
saat tertutup kabut jalur ini sama sekali tidak terlihat |
30 menit kemudian mereka datang dengan
muka sedikit pucat. Nampaknya mereka mengejar waktu agar tidak terguyur hujan
yang semakin deras. Gubuk yang sedari tadi jadi tempat saya berteduh rupanya
warung, tak berfikir panjang lagi, saya segera memesan mi rebus dan teh hangat.
Mengingat belum makan siang, jadi karbohidrat dengan paduan protein dari telur
nampaknya tidak salah. Harga makanan di ketinggian sama dengan harga makanan di
dataran rendah. Saya masuk ke dalam warung menghangatkan badan, begitupun
Mamet. Dendy dan Jamil mencari tempat mendirikan tenda.
Setelah saya selesai makan, rupanya hari
sudah gelap. Angin semakin kencang berhembus. Menunggu Dendy dan Jamil makan,
saya kembali ke dalam warung. Tak lama, Mamet dan Jamil mendirikan tenda tak
jauh dari warung tempat kami makan. Saya tidak ikut membantu karena kedinginan.
Tenda berdiri, saya mengajak pula Sabar
dan Salim serta teman – temannya untuk ikut berteduh di tenda kami. Tenda yang
berkapasitas 4 orang dipaksakan menampung 7 orang. Menumpuklah kami di dalam
tenda seperti ikan asin. Strategi tidur sangat diperlukan demi kenyamanan.
Hujan yang tak kunjung berhenti membuat kami khawatir dengan teman – teman
Sabar yang lain. Walaupun ada 2 sesepuh yang berada mengikuti mereka tetap saja
dengan udara dingin seperti ini tak menutup kemungkinan hal buruk terjadi,
tetapi kami berharap semua akan baik – baik saja. Istirahat dalam hujan dan
angin, kami bertujuh tertidur lebih awal dengan harapan esok akan cerah dan
mendapatkan momentum matahari terbit terbaik. Kembali berspekulasi.
Keramaian Hargo Dumilah
Keramaian nampak terdengar dari dalam
tenda, masih dingin. Saya buka pintu tenda dan teryata hari sudah terang. Saya tertinggal
moment matahari terbit. Mendung. Di luar sudah berkumpul teman – teman Sabar
dan Salim, mereka sampai di Sendang Drajat jam 10 malam tadi. Kami sedang asik
bercengkrama dalam mimpi indah.
Camp Sendang Drajat |
Pagi di Sendang Drajat |
Menuju Puncak |
Tugu Hargo Dumilah 3.265 mdpl *penuh coretan eksistensi* |
Mendung Membiru |
Mentari Malu - Malu |
Mendung Membiru |
Puncak Hargo Dumilah |
Mau tak Mau Bersinar |
Laguna * |
tak kunjung terbuka si awan kelam |
Keramaian Hargo Dumilah |
Kanan Sendang Drajat, Kiri Hargo Dalem |
Kota Pagi Ini |
Punggungan |
Warung Mbok Yem yang ada keramaian |
Saat sedang asik memasak, rombongan Sabar
dan Salim bertemu lagi, mereka tidak jadi turun melalui Cemoro Kandang dan
memilih melewati Cemoro Sewu yang lebih cepat. Berpamitan dan janji mereka akan
menunggu kami di basecamp untuk bersama – sama kembali ke Solo. Kembali memasak,
dan kali ini rombongan TNI AD satu per satu bermunculan. Ketika sampai mereka
langsung membasuhkan wajah di sumber ait yang katanya dikeramatkan itu. Entah apa
yang ada dibenak mereka, saya asik dengan hasil karya masakan Jamil dan Mamet.
Jam 11 Siang, Sendang Drajat |
Jamil, Mamet, Dendy --> The Porter |
Jam 11 siang, saat matahari sedang asik
bersinar, kami pun sudah bersiap untuk menuruni jalan tangga batu setapak yang
tersusun rapi. Hari ini rombongan dari kampus saya rencananya akan memulai
pendakian melalui Cemoro Sewu, harapannya kami dapat berpapasan kalau tidak di
pos 2 ya di pos 3. Posisi turun kali ini Mamet dan Dendy yang biasanya selalu
lebih dulu, mereka kali ini memilih di belakang, dengan alasan kalau di depan
mereka tidak akan di foto karena kamera saya yang pegang. Sedangkan saya dan
Jamil di posisi depan. Jalan santai saya rupanya membuat mereka tertinggal jauh
di belakang sana.
Menjelang
pos 2 rupanya benar – benar jauh jarak antara Mamet dan Saya. Sampai ketika
Mamet berteriak memanfaatkan efek gema mengatakan bahwa sendalnya putus. Berhubung
sendal ada di tas saya jadi saya sangkutkan saja sendal itu di pepohonan. Setelah
itu saya dan Jamil kembali melanjutkan perjalanan turun. Melewati para anggota
TNI AD yang akan berkunjung ke Hargo Dumilah jika mereka mau, dan dilewati oleh
pedagang wanita tua yang kemarin memasakkan mi rebus untuk saya. Luar biasa. Wanita
tua itu berjalan sangat cepat, padahal saat saya turun tadi beliau sedang
melayani para anggota TNI AD yang kelaparan di Sendang Drajat. Saya yakin beda
waktu turunnya cukup jauh. Sakti sekali wanita itu.
Eagle Rock |
Salim dan Sabar sedang asik menegak teh
dingin, kemudian saya kebingungan sendiri mencari rombongan kampus yang
seharusnya sudah mulai menapaki jalan setapak, namun hingga siang ini di
basecamp pun tidak ada. Saat ini sudah 12.30 waktu normal perjalanan turun dari
Sendang Drajat sampai di basecamp. 30 menit kemudian Mamet dan Dendy tiba. Mereka
tampak murung.
Ransel Dendy putus, hingga ia harus
berjalan seperti Ninja Hatori dengan satu tangan memegang kebelakang
menghindari efek equilibrium yang terjadi. Kemudian rupanya si Mamet itu
keberatan dengan ransel yang ia bawa. Ransel yang saat naik saya bawa itu
awalnya akan dibawa Jamil saat turun, itu sudah perjanjian saya dengan Jamil. Namun,
saat di Sendang Drajat si Mamet dengan senang hati menawarkan diri untuk
membawakan ransel saya, sudah beberapa kali saya pastikan keyakianan untuk
membawa ransel saya, dan ia yakin. Akhirnya saat turun saya membawa daypack
yang awalnya dibawa Jamil, Dendy masih dengan ransel awal, kemudian Mamet
dengan ransel saya dan Jamil dengan ransel Mamet. Muka Mamet sungguh minta
diledek, mungkin ia kesal, tapi dengan begitu membuatnya menjadi semakin aneh.
Pos Pendakian Gunung Lawu, bersama Sabar dan Salim |
_____________
Terimakasih buat :
*Allah SWT atas semua kenikmatan yang
diberikan
*Nesa yang telah membantu segala sesuatu
selama di Surabaya dan info tentang Lawu
*Singgih untuk summertime-nya
*Keluarga Dila di Solo
*Rombongan Sabar dan Salim yang mewarnai
hari dan ikut dalam pembicaraan dewasa malam hari
*The Team : Jamil, Dendy dan Mamet
tulisan lw ceritain smuanya, gw suka kecuali tulisan "orang tua itu memang misterius dan aneh"... teganya dirimuu..
BalasHapus