Visit Makassar and Beyond, tulisan pada beberapa baliho yang terpampang jelas di hampir semua sudut Bandara Sultan Hasanuddin II. Sebuah bandara yang modern minimalis namun sayang kesan tradisionalnya hampir tidak ada. Overview tentang bandara terbaik di Indonesia tahun 2010 ini menandakan saya sedang berada di Sulawesi Selatan. Saya tidak pernah membayangkan akan secepat ini pergi ke luar Jawa untuk mengunjungi bagian Indonesia yang berada hampir di timur. Kalau bukan karena inisiatif dari teman – teman saya, mungkin hari ini saya masih terlelap di dalam selimut hangat di rumah.
Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar |
Oke, saya saat ini sedang bersama Awal. Kami berangkat dengan penerbangan pertama menuju Makassar untuk berjumpa dengan Nesa yang berangkat dari Surabaya. Kami bertiga dipertemukan pada indahnya Semeru September lalu, dan saat ini kami ingin kembali mempererat silaturahim yang sebelumnya telah terjalin.
Pagi itu Bandara Sultan Hasanuddin II tampak becek dari kejauhan, hujan baru saja mengguyur kawasan ini. Hal yang paling tidak kami harapkan dalam pendakian dimusim hujan seperti ini.
Perbedaan waktu antara Jakarta dan Makassar adalah 1 jam, karena saya berangkat dari Jakarta jam 5 pagi yang otomatis di Makassar sudah jam 6 pagi maka saat saya sampai di Makassar sudah jam 8 pagi. Pastinya Nesa sudah lebih dulu sampai, karena ia berangkat dari Surabaya juga menggunakan penerbangan pertama. Saya dan Awal segera mencari keberadaan Nesa yang ternyata sudah menunggu di pelataran parkir bandara, ia sedang berbicara dengan tukang ojek yang nantinya akan mengantar kami hingga pintu keluar bandara ini. Ah.. lama tak jumpa dengan dia.
Sampai di tempat yang dituju, semacam perempatan yang tepat berada di luar area bandara kami kebingungan. Entahlah, saya sangat bingung karena angkot yang saya kira seperti di Jakarta ternyata di Makassar berbeda, mereka menggunakan mobil pribadi yang diberi plat kuning sebagai angkutan umum. Banyak dan dengan tujuan yang berbeda – beda. Kami ingin ke Baraka yang termasuk dalam kabupaten Enrekang.
Di dekat warung kami menunggu termenung lebih tepatnya bingung. Beberapa kali kami menanyakan tujuan angkot tersebut hingga ada penjaga warung baik hati yang memberi tahu bahwa mobil menuju Baraka sudah datang.
Di dalam mobil yang kebetulan isinya hanya kami bertiga ditambah dengan satu penumpang di samping supir membuat kami leluasa bergerak. Celingak celinguk khas orang yang baru melihat pemandangan asing dan menarik di sekelilingnya. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan sawah hijau membentang disertai bukit – bukit kecil di tengahnya, unik. Sang supir sibuk bercerita dengan bahasa Makassar yang seketika membuat saya dan Awal roaming nasional, mungkin Nesa mengerti. Saya dan Awal tidak mengerti apa yang ia katakan kecuali saat penumpang perempuan membantu sang supir menterjemahkannya pada kami. Sampai ketika supir itu berhenti di rumah makan. Ah, saya, Nesa dan Awal tak segan makan bersama supir tersebut di ruangan belakang rumah makan ini. Namun, tanpa diduga atau kami yang terlalu berharap, bahwa makanan kami itu harus membayar sendiri – sendiri. Padahal kami berharap itu bagian dari service perjalanan menuju Baraka. Kami tertipu.
pemandangan jalan |
rumah makan |
pemandangan dari rumah makan |
Setelah kenyang, mobil kembali dipacu dengan kencang. Entahlah, mungkin supirnya punya bakat menjadi pembalap. Kami bertiga hanya bisa melihat pemandangan tanpa bisa mengambil gambar dengan leluasa macam pemandangan yang indah itu, selanjutnya kami bergantian tidur, perjalanan yang sangat lama.
Menjelang sore kami tiba di pertigaan arah Tana Toraja dan Enrekang. Dari sini tebing – tebing tinggi menjulang indah menembus langit biru. Mobil kami berbelok ke kiri ke arah Enrekang. Saya jadi teringat pada 17 Agustus beberapa tahun lalu salah satu tv swasta nasional pernah mengibarkan bendera merah putih dengan ukuran raksasa di salah satu tebing indah ini. Sampai ketika saya benar – benar merasa penasaran hingga melongok ke luar jendela.
Dan, ternyata bendera raksasa itu masih terpampang di tebing yang belakangan saya ketahui nama tebing itu adalah tebing mandu dari seorang supir di Baraka. Namun, memang dasar si supir yang tidak mau berhenti walau hanya sebentar, saya pun tidak bisa mengambil gambar bendera raksasa yang saat ini sudah sangat lusuh. Rasanya bangga sekali melihat bendera merah putih dengan ukuran yang sangat besar terpampang di tebing nan gagah itu.
gambaran tebing di enrekang |
Jalanan panjang karena harus mengikuti kontur lereng dan pegunungan membawa kami menuju Baraka, sampai tiba di sebuah pasar yang sangat sepi tidak ada aktivitas sama sekali. Inilah Pasar Baraka. Di sini kami bertemu dengan seorang teman bernama Khalid, seorang teman yang belum sama sekali kenal karena ia adalah saudara dari seorang teman Nesa sewaktu sekolah dulu. Berkenalan singkat dan hujan membasahi Baraka sore itu.
Kabar yang kami dapat sungguh membuat dahi mengkerut. Setelah seminggu tidak hujan hari ini ketika Baraka kedatangan tamu dari luar Sulawesi diguyur hujan sangat deras dan cukup lama. Untungnya tidak sampai malam.
Saat matahari sudah tidak lagi menampakkan diri karena tertutup awan gelap pembawa hujan, kami dibawa menuju rumah Khalid, sekitar 30 menit perjalanan dari pasar Baraka. Menyusuri jalan aspal yang terlihat masih baru menembus rimbunnya pepohonan dengan udara yang sangat dingin kami sampai di rumah Khalid.
Khalid's House |
rumah tradisional |
Sebuah rumah panggung dengan gaya tradisional dilengkapi dengan taman kecil tepat di depan rumah serta ada rumah panggung yang masih sangat tradisional berada di samping rumah utama. Kamar mandi terpisah dengan bagunan, berada di bawah dari rumah panggung utama. Dengan meniti anak tanda kemudian memasuki rumah panggung yang didominasi oleh kayu membuat suasana dingin malam itu menjadi hangat. Malam ini kami habiskan waktu untuk saling bertukar cerita tentang Jakarta, Surabaya, Makassar dan Baraka. Ditemani papeda dan segelas teh hangat, kami akan menginap semalam di sini.
***
Kicau burung seakan memanggil saya yang sedang terlelap. Tak ada cahaya yang masuk di kamar ini, saya bangun terlalu siang. Segera ibadah dan menikmati mentari pagi dari teras depan rumah Khalid. Semalam udara dingin menyergap tubuh, rupanya memang rumah ini dikelilingi bukit menjulang di kejauhan.
Melihat semangat anak – anak pergi ke sekolah nun jauh di atas bukit sana namun mereka di fasilitasi bus sekolah yang sangat baik kondisinya, bahkan saya bisa bilang lebih baik daripada bus sekolah yang ada di Jakarta. Secangkir teh hangat yang hampir dingin saya minum. Kami bertiga seakan terhipnotis oleh suasana bersahabat di rumah Khalid.
Pagi ini harusnya kami akan berangkat ke Rante Lemo atau penduduk lokal sana menyebutnya Dante Lemo, tetapi rupanya mobil yang akan kami tumpangi sudah berangkat subuh tadi, kami telat. Akhirnya diputuskan kami akan kembali ke Pasar Baraka, di sana ada saudara dari Khalid yang akan membantu kami mencarikan mobil menuju Rante Lemo.
Saya dan Awal menumpang truck yang akan menuju Cake, tetapi kami hanya akan menumpang sampai pasar Baraka saja. Sedangkan Nesa bersama Khalid naik motor, nanti kami akan di jemput di pertigaan pasar ini. Hal menarik ketika sedang asik menunggu Khalid datang adalah adanya segerombolan anak SD yang baru saja pulang sekolah. Mereka tampak heran melihat saya dan Awal yang sibuk foto di depan baliho Enrekang. Saat itu saya tawarkan mereka untuk berfoto dan tak disangka, mereka sangat antusias sekali. Bahkan, ketika saya bilang akan menyebarkan foto mereka di Jakarta dan kalian akan terkenal, mereka langsung berteriak berhamburan kegirangan. "Horee.. terkenal di Jakarta..!!"Semangat sekali mereka.
Slogan Enrekang |
Laskar Baraka |
Pagi yang terik, padahal baru pukul 10. Suasana pasar begitu hiruk pikuk tidak seperti kemarin yang sangat tenang. Pagi ini hari pertama hari pasar, sehingga tak banyak pedagang yang berjualan di pasar ini tapi tetap saja menarik, melihat berkarung – karung hasil tani dan hasil kebun tumpah ruah di pasar ini. Katanya besok akan lebih ramai lagi, jadi tidak sabar.
Matahari sudah tepat berada di atas kepala, pasar ini yang dikelilingi bukit – bukit menjulang sudah kembali sepi, namun mobil yang dinanti tak juga datang. Kami akan menginap semalam lagi di sini, di pasar ini, di toko milik Anti, begitu kami memanggilnya mengikuti Khalid.
aktivitas pedagang |
di dalam warung Anti |
Menjelang sore kami mendapatkan hiburan dari Anti dan Khalid. Setelah makanan tradisional berupa campuran ketan dan gula merah yang sangat manis, kali ini kami akan dibawa menyusuri bukit yang berada tepat di samping pasar. Kabarnya, Anti kalau sedang galau ia akan lari menuju bukit ini sebagai penghilang penat, sebelum akhirnya akan kembali ke rutinitas biasanya. Saya jadi tidak sabar, hitung – hitung latihan sebelum esok ke tanah tertinggi di Sulawesi Selatan.
jembatan gantung |
sungai pembelah desa |
Saat aktivitas pasar sudah mulai sepi, saya, Awal dan Nesa pun sudah rapih bak taksido bertopeng yang ingin kencan dengan sailormoon, Anti dan Khalid mengajak kami untuk menyusuri perkebunan coklat yang ada diantara rumah – rumah warga. Kami akan ke bukit di samping pasar. Berjalan menyusuri kebun coklat kemudian melewati jembatan gantung yang nampak tua lalu disuguhi track terbuka berupa rumput luas dihiasi beberapa pohon. Dan yang membuat saya kaget adalah di atas bukit ini terdapat kuburan batu yang nampak seperti kuburan zaman megalithikum. Tak mau berspekulasi.
buah coklat |
berjalan ke bukit sebelah |
naik bukit sebelah |
sawah hijau membentang |
pasar Baraka |
Awal, Khalid, Anti, Nesa |
kubur batu |
Dari atas sini terlihat pasar Baraka yang berbentuk seperti kompleks rumah kotak – kotak rapih dikelilingi oleh gunung – gunung tinggi nun jauh di sana. Memandang sawah hijau membentang ditambah angin sepoi yang menerpa wajah perlahan membuat pandangan berbeda tentang penatnya pasar Baraka. Pantas saja Anti suka sekali berada di bukit ini jika sedang gusar dengan urusan dagang. Suasananya begitu tenang dan sejuk. Esok kami akan ke Rante Lemo sebelum akhirnya menengok tanah tertinggi Sulawesi, Rante Mario.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar