Baraka Pagi Ini
“Anti.. Anti.. Bangun..” begitu seru suara di luar warung Anti, saya terbangun. Ketika warung dibuka ternyata matahari mulai menampakkan wajahnya sambil malu - malu, kali ini saya bangun tepat subuh. Layaknya di semua pasar tradisional di Indonesia, kegiatan sudah dimulai sejak subuh masih dalam angan. Tetapi di Baraka, hal ini menjadi menarik, hari ini adalah puncak hari pasar dimana semua pedagang dan pembeli dari dan luar Baraka bertransaksi hingga terkapar lemas.
Masih sama suasananya seperti kemarin, hiruk pikuk para pedagang yang jumlahnya kali ini lebih banyak. Pasar Baraka lebih penuh bahkan mobilpun tak bisa parkir seenaknya seperti kemarin. Para pedangang tidak perlu menjajakan dagangannya karena pembeli yang akan menghampiri mereka.
|
Pasar Baraka |
Pagi ini saya rencananya akan menuju Rante Lemo. Semua yang mengatur Anti dan Khalid. Saya, Nesa dan Awal hanya tinggal menunggu. Kami sebenarnya sungkan, namun mereka begitu baik menawarkan bantuan. Terimakasih banyak.
Seperti sambutan di awal sejak saya datang di warung Anti, pagi ini kami dibuatkan makanan spesial lengkap gizi. Semua komponen protein, vitamin, sayuran, karbohidrat lengkap, hanya kurang susu. Tetapi yang tak kalah penting adalah kehadiran sambal hampir disetiap sesi jamuan makan yang disediakan oleh Anti. Kelak saya akan sangat rindu dengan sambal buatan Anti. Mari saya ceritakan.
|
makan |
Disaat Jakarta sedang mengalami krisis cabai yang mencapai Rp 120.ooo,-/kg sehingga membuat rasa sambal yang pedas menjadi manis. Mungkin karena terlalu banyak dicampur tomat. Tetapi di Baraka, dari awal kami tiba di sini, sambal yang tersaji selalu pedas. Kami semua menikmati itu. Sampai pada pagi ini, sambal pedas itu tersaji kembali. Nikmat.
Rupanya ibu –orang yang berjaga di warung Anti- agak membaca gelagat saya yang penasaran. Tanpa ditanya Ibu menjelaskan “Sambal itu campuran dari cabai rawit dan tomat serta sedikit garam, sehingga rasanya menjadi sangat pedas. Cabai di sini tidak seperti di Jakarta. Saat ini harga cabai di Baraka Rp. 15.000,-/Kg bukan Rp. 120.000,;/Kg seperti di Jakarta”.
|
transaksi |
Bahkan harga tomat satu karung yang ditunjukkan ibu pada saya berharga Rp. 18.000,- kemudian kol satu karung katanya Rp. 5.000,- sungguh murah sekali. Disatu sisi saya mensyukuri harga bahan pokok yang murah, namun di sisi lain kasihan para petani itu, mereka sudah berkebun siang malam tetapi hanya dihargai sangat murah. Mungkin di sini tengkulak yang menjadi juara.Lain lagi ceritanya saat matahari mulai menghangatkan Baraka, ada teriakan – teriakan yang membuat saya sungguh sangat penasaran. “Minyak ajaib yang bisa digunakan untuk segala macam penyakit, bisa untuk ketombe, sakit mata, panas, dan segala macam penyakit. Cukup dioles sedikit penyakit hilang” dengan logat Baraka yang khas, seorang penjaja minyak ajaib berteriak menggunakan toa.
|
souvenir minyak ajaib |
Jiwa saya sebagai tenaga kesehatan cukup terpanggil untuk mengetahui minyak apa yang sebenarnya dijual. Berhubung mobil yang akan membawa saya ke Rante Lemo belum datang saya mengajak Awal untuk mencari tahu asal suara tersebut. Setelah berjalan tak jauh dari warung Anti saya menemukan penjaja minyak ajaib itu. Sekedar iseng saya bertanya tentang khasiat dan asal minyak tersebut. Si Penjual sangat fasih menjelaskan khasiatnya, numun ketika menerangkan asal minyak tersebut agak bingung sendiri, malah saya disuruh membeli. Padahal saya hanya tertarik dengan souvenir berupa buaya kering dan beberapa kuda laut yang telah dikeringkan. Nesa menghubungi saya dan Awal yang sedang asik merayu si penjual agar rela melepas souvenirnya tanpa harus membeli minyak ajaib itu.
Menuju Rante Lemo Mereguk Kebekuan Karangan
Hari sudah menjelang siang sekitar pukul 10.30, rupanya mobil yang akan membawa kami ke Rante Lemo sudah datang. Mobil itu tepat berada di belakang pasar Baraka. Kami berpamitan dengan Anti dan Khalid dan meminta doa restu pada mereka, namun yang terjadi Anti meminta kami untuk kembali mengunjungi warung Anti sesaat setelah turun dari Latimojong, tak kuasa menolak kami meng-iya-kan.
|
menuju Rante Lemo |
Mobil sejenis strada yang ternyata sudah penuh berisikan para pendaki dari Pare – pare yang juga akan mendaki Latimojong akan membawa kami menuju Rante Lemo. Diawal perjalanan, jalur yang dilalui mobil ini masih berupa jalanan aspal yang baik. Melewati rumah penduduk dan beberapa perkebunan serta gunung tinggi menjulang membuat awal perjalanan ini menarik. Namun setelah satu jam perjalanan jalur berubah, dari aspal menjadi bongkahan batu yang disusun rapi berjajar. Siang ini sangat cerah, namun tidak secerah hati saya yang berdegup kencang karena jalur yang hanya dapat dilewati oleh satu mobil. Tepat di sebelah kiri adalah tebing yang sesekali berupa kebun salak kemudian di sebelah kanan adalah jurang yang sangat dalam. Jalur berkelok naik turun hingga batuan itu berganti menjadi jalur tanah yang saya yakin jika becek akan menjadi jalur offroad yang sangat keren. Jalur yang dilalui dapat terlihat seperti ular coklat raksasa jika kami berada di punggungan dan hilang ditelan lebat hutan jika kami berada di lereng. Kami bicara banyak dengan para pendaki Pare – pare untuk menghilangkan ketegangan. Sumpah saya tegang.
|
jalur menuju dusun Karangan *Nesa* |
|
jalur offroad tepat di tebing *Nesa* |
|
jalur yang akan dilalui terlihat dari atas, mengular *Nesa* |
Sekitar jam dua siang kami tiba di perkampungan yang berisi rumah – rumah panggung nan eksotis. Kami tiba di Rante Lemo. Desa ini berada di sebelah sungai yang mempunyai air sangat jernih dan alirannya deras. Tak berlama – lama kami di Rante Lemo karena tujuan hari kami harus sampai di Dusun Karangan. Rante Lemo berawan kelabu siang ini.
Dengan melewati jembatan yang memisahkan antara perkampungan Rante Lemo dengan perkebunan kami menyusuri jalur yang lebar, berbatu dan berpasir tepat dipunggungan bukit. Sedikit jalan cepat mengingat awan hitam sudah semakin jelas terlihat akan menumpahkan air sesegera mungkin. Dan benar saja, ketika mendekati perkebunan sayuran hujan deras turun, segera memakai jas hujan dan melanjutkan perjalanan.
|
Desa Rante Lemo |
Jarak antara Desa Rante Lemo menuju Dusun Karangan sekitar 2 jam perjalanan. Melewati perkebunan penduduk dan beberapa kompleks rumah panggung yang letaknya berjauhan. Hujan yang saat ini membasahi kawasan pegunungan Latimojong membuat nafas terengah – engah dan dingin merasuk. Mendekati Dusun Karangan, hujan berganti gerimis yang kelamaan reda. Kabut yang sempat mengganggu pandangan, menguap ke angkasa.
|
menuju dusun Karangan |
Kendala perbedaan bahasa membuat kami agak kebingungan mencari rumah kepala dusun. Beruntung ada seorang ibu baik hati yang memberi tahu kami soal dimana rumah kepala dusun itu.
Rumah kepala dusun rupanya bukan lagi di dekat track awal pendakian, melainkan di awal kami mendekati dusun Karangan, tepatnya di sebelah masjid yang cukup besar. Kepala dusun di sini sudah mengalami pergantian rezim. Kami akan bermalam di sini berbagi kehangatan dengan para pendaki lain.
|
rumah kepala dusun Karangan |
Matahari sudah tak menampakkan dirinya, langit berganti hitam kelam, gelap. Dusun Karangan yang terletak tepat dipunggungan pegunungan Latimojong memancarkan aura sejuk yang tak terbantahkan. Udara yang dingin serta air yang seperti es membuat Karangan beku untuk orang seperti saya. Tak lepas dari jaket dan sarung tangan selama di Karangan. Dingin.
Menjelang malam, obrolan hangat terjadi di rumah kepala dusun. Porter yang terbiasa mengantarkan para pendaki bercerita banyak tentang Latimojong. Pendaki Pare-pare menyimak dengan seksama, jujur saya mengalami roaming nasional di sini. Hanya beberapa kata yang saya mengerti itupun dibantu oleh salah seorang pendaki dari Pare – pare. Ketika malam semakin larut, datanglah para sesepuh dusun Karangan ikut bergabung bersama kami. Jasa penerjemah bahasa sangat berguna saat itu. Mereka memberikan wejangan yang cukup bijak. Sayang, gelang rotan tak kami dapatkan, sebagaimana diceritakan oleh para pendaki yang pernah berkunjung ke Latimojong. Mungkin besok, kami menghibur diri.
|
bincang malam |
Angin berhembus kencang malam itu. Rumah panggung yang terbuat dari potongan kayu tak banyak membantu menghangatkan malam di Karangan. Semakin dingin, semakin membeku. Saat para pendaki Pare – pare terlelap tidur, kami bertiga masih sibuk memasak nasi, sehingga besok tidak terlalu repot karena tinggal memasak lauk untuk sarapan. Esok akan memulai pendakian pagi – pagi sekali.
Langkah Kecil di Latimojong
Sekitar jam 4 pagi kami terbangun oleh dering alarm dari HP Awal, nyanyian khas Jakarta membuat keheningan subuh terpecah. Suasana di dalam rumah masih dingin seperti semalam, malas rasanya untuk beranjak dari sleeping bag.
Perlahan satu persatu dari kami terjaga, Nesa segera menyiapkan lauk untuk sarapan. Saya mencoba untuk keluar menghampiri Masjid yang tepat berada di samping rumah kepala dusun ditemani Awal, sholat. Saat mengambil air wudhu, ahh.. airnya sangat dingin sekali. Seperti es yang baru saja mencair. Membeku seketika.
Subuh di Karangan masih sangat gelap. Mungkin karena matahari terhalang gagahnya Latimojong di timur sana. Ketika kembali ke rumah kepala dusun, makanan sudah disiapkan oleh Nesa, kami tinggal menyantapnya. Nesa, baik yah..
Semburat biru terlihat dari celah kayu rumah panggung ini, ketika itu saya pikir baru jam 5.30, ternyata kenyataannya sudah jam 6.30. Segera berkemas ulang, mengeluarkan yang perlu dan menanggalkan yang menyusahkan. Setelah berpamitan dengan beberapa pendaki Pare – pare yang akan berangkat jam 9 dan sesuai dengan kesepakatan semalam, jam 7 kami siap untuk menapaki jalan licin Latimojong. Berdoa.
Rumah – rumah penduduk berbentuk panggung yang terlihat sama padahal berbeda mengawali perjalanan kami. Sempat bingung jalur yang akan dilalui, karena di awal perjalanan banyak sekali cabang. Beruntung penduduk lokal baik sekali memberi arahan.
|
sungai pertama setelah melewati kebun kopi |
|
melewati pinggiran tebing gundul |
Kebun kopi yang tepat berada di sisi kanan dan sungai yang berada di sisi kiri menjadi cabang pertama yang berhasil di lalui. Selanjutnya melewati kumpulan bunga – bunga cantik di sisi kanan dan kiri sebelum akhirnya berganti menjadi kebun kopi secara keseluruhan. Ada percabangan ke kanan atas dan kiri bawah, nantinya kami mengambil arah ke kiri bawah, karena jalur ke kanan atas itu menuju puncak Nenemori.
|
ke kiri Rante Mario - ke kanan Nenemori |
Setelah melewati percabangan menuju dua puncak itu, kami juga melewati areal pembukaan hutan. Trenyuh rasanya melihat hutan dibabat habis untuk alih fungsi menjadi perkebunan. Selain harus memanjat batang pohon yang licin, tanjakannya pun cukup terjal. Beruntung kami masih melewati 3 aliran sungai kecil untuk mencapai pos 1. Kami berusaha untuk mengatur tempo berjalan, karena banyak medan yang belum kami ketahui secara pasti. Hanya berupa catatan.
|
sungai ke tiga : lokasi pembukaan hutan |
Setelah 1 jam 40 menit dari waktu keberangkatan di Karangan, kami sampai di pos 1 – Buntu Kaciling (1800 mdpl). Berupa tanah lapang yang tidak terlalu luas dengan pemandangan pegunungan yang mempunyai punggungan yang berlipat – lipat serta beberapa pucak yang menantang langit pagi itu. Menakjubkan. Istirahat dengan pemandangan seperti ini buat saya adalah nilai plus disamping sekedar minum atau memakan cemilan.
|
Pos 1 - Buntu Kaciling |
|
pemandangan dari Buntu Kaciling |
Tak berlama – lama di pos 1 kami segera memasuki hutan. Rupanya pos 1 saat ini, dan saya harap sampai seterusnya akan tetap menjadi pembatas antara hutan dan perkebunan penduduk, jika tidak itu artinya penggundulan hutan sudah semakin parah. Awalnya kami melewati tanjakan yang tiada putus dengan jalus setapak yang menempel pada tebing di sebelah kanan serta jurang di sebelah kirinya. Walaupun dinaungi pohon – pohon lebat, tetap saja yang namanya jurang jika terpelanting pasti jatuh.
Kami menggunakan akar – akar pohon untuk berpegangan. Semakin lama jalur menyempit hanya bisa dilewati satu telapak kaki sehingga dalam melangkah kaki harus bergantian. Disekitar saya masih dengan komposisi tebing dan jurang, ditambah licinnya jalur karena hutan ini sangat lembab. Harus ekstra hati – hati.
Di jalur menuju pos 2 ini memang sedikit menguji nyali. Setelah tanjakan yang tiada putus, jalur tiba – tiba turun, kemudian naik lagi dan begitu seterusnya. Belum lagi kami harus melewati beberapa jembatan yang hanya terbuat dari sebatang pohon yang diameternya tidak sampai 30 cm. Dengan berpegangan pada bebatuan licin dan berharap tidak jatuh karena tepat dibawah sana adalah jurang yang penuh dengan pohon-pohon menjulang. Jangan tanyakan mengapa tidak ada foto, karena Nesa yang menggunakan pocket camera saja tidak berani untuk mengeluarkan kamera apalagi saya. Sangat riskan.
|
jalur menuju pos 2 |
Lebih dari itu, setelah melewati beberapa jembatan batang pohon yang licin itu. Saya sempat terjatuh. Terpeleset atau akibat tanahnya yang tidak terlalu kuat untuk dipijak, saya tersungkur ke jurang. Saat itu Nesa yang tepat berada di depan saya sadar dan berbalik arah ketika Awal yang ada di belakang saya berlari untuk meraih tangan saya. Untunglah saya tersangkut di batang pohon yang cukup kuat, saat itu juga Awal segera meraih tangan saya dan Nesa mencoba menenangkan. Hah.. kamu tahu apa yang ada di pikiran saya ketika terjatuh? Kamera, setelah itu kacamata baru kemudian bagaimana keadaan saya. Saat itu kepala saya di bawah dan kaki saya di atas. Agak sulit untuk kembali menemukan keseimbangan setelah jatuh, ditambah jalur yang semakin licin dan masih dengan kemiringan yang ekstrim di sisi sebelah kiri saya.
Ketenangan dapat dikendalikan dengan baik, secara perlahan saya sudah bisa menguasai keadaan lagi. Kami mulai berjalan beriringan seperti semula. Kali ini suara gemericik air semakin jelas terdengar. Jalur yang dilalui mulai menurun terus sampai kami tiba di sebuah aliran sungai yang jernih dengan alirannya yang cukup deras. Kami menyebrangi sungai itu dengan melompati beberapa bilah batang pohon yang sengaja di biarkan tergeletak ditengah sungai. Daripada harus melewati batu licin lebih baik lewat batang pohon ini.
|
sungai penghubung jalur |
|
Pos 2 - Gua Sarung Pakpak |
Sebuah tebing batu yang menonjol tepat di sebelah aliran sungai kami berhenti sejenak. Setelah berjalan 1 jam 35 menit dari pos 1 kami tiba di pos 2. Kami bertemu dengan para pendaki dari Palopo yang baru saja selesai pendidikan. Sekitar 15 menit beristirahat dan berbincang serta mengisi persediaan air di Gua Sarung Pakpak, kami melanjutkan perjalanan.
Selepas berpamitan dengan pendaki Palopo, saat itu juga saya terkejut. Tanjakan yang digembar – gemborkan memiliki sudut kemiringan hingga 80˚ ternyata berada tepat di sebelah tebing batu. Perlahan saya menaiki dengan sangat hati – hati. Tak ada pegangan kecuali batu – batu tersusun dan akar – akar dari pohon perdu yang labil. Jalur ini kalau horizontal nampaknya tidak terlalu jauh. Hanya saja jika sudut kemiringannya seperti ini membuat waktu menjadi lebih panjang, dan jujur, ketika lelah saya hanya berdiri, dada menempel pada jalur berbatu itu dan menghela nafas.
|
Tanjakan dari Pos 2 menuju Pos 3 |
Jalur menuju pos 3 sebenarnya menarik, karena merupakan habitat anggrek. Hanya saja jika jalurnya mempunyai sudut kemiringan seperti ini rasanya agak sulit untuk mendapatkan kenikmatan melihat anggrek di habitat aslinya. Ketika sampai di sebidang lahan kosong, saya fikir ini adalah pos 3 tapi ternyata ini hanya pos banyangan untuk sekedar menghela nafas. Bidang tanah ini hanya muat untuk 2 – 3 orang saja untuk beristirahat. Selanjutnya jalur masih tetap sama hingga sampai di pos 3.
Dengan muka sedikit memerah karena kelelahan kami tiba di pos 3 – Lantang Nase (1940 mdpl). Berjalan dengan kemiringan ekstrem selama 1 jam 22 menit membuat saya dan teman – teman sedikit frustasi. Ditambah jalur ini sangat rapat, tak terlihat langit biru sedikitpun. Hanya hijau royo – royo di sekeliling. Tak lama kami beristirahat. Hanya sekedar menenggak minuman, kabutpun turun. Kami melanjutkan perjalanan.
|
Pos 3 - Lantang Nase |
|
bunga |
Menuju pos 4 jalur masih saja berupa tanjakan, namun tidak terlalu terjal mungkin sekitar 60˚-70˚. Dalam batas wajar, kami teruskan perjalanan. Rupanya jalur ini masih merupakan habitat anggrek dan berbagai macam bunga – bunga cantik. Dengan memperhatikan berbagai macam biota yang ada cukup menghilangkan kebosanan saya dalam menyusuri jalan setapak ini. Kami tak lagi banyak bicara karena rasa lapar sudah benar – benar merasuk. 1 jam 36 menit kami lalui untuk mencapai pos 4. Di Buntu Lembu (2140 mdpl) kami istirahat sejenak. Angin berhembus kencang, dingin menyergap tubuh. Awalnya ingin makan siang di sini, namun melihat kondisi pos yang tidak memungkinkan, akhirnya ditunda hingga kami sampai di pos 5 nanti.
|
Pos 4 - Buntu Lembu |
Lumut, baru saja ketika januari lalu saya diberitahu tentang lumut saat berkunjung ke KRC. Jalur setelah pos 4 yang nantinya diteruskan hingga puncak Rante Mario adalah habitat lumut yang subur. Menuju pos 5 saya seperti sedang berada di dunia lumut. Sepanjang mata memandang lumut bertebaran dimana-mana. Di kanan, di kiri, di depan dan di belakang lumut semua. Menyegarkan sekaligus menyenangkan. Ketika mengetahui Nesa sedang strees menghadapi jalur ini, saya sedang asik memperhatikan rupa lumut yang lucu. Nesa semakin tertinggal jauh di belakang sana, pastinya ditemani Awal. Saya tersadar Nesa tertinggal ketika saya sampai di sebidang tanah luas yang cukup untuk mendirikan 5 – 6 tenda. Ini pos 5 – Soloh Tama (2480 mdpl), saya rebahan di batang pohon besar yang tumbang. Memejamkan mata sejenak, menikmati hembusan angin semilir dan dinginnya rimba. Ahh. Begitu tenang, sunyi dan temaram. Saya suka.
Nesa datang lebih dulu, segera beristirahat. Selanjutnya disusul kedatangan Awal. Kami akan makan siang. Saat ini sudah jam 14.50, 2 jam perjalanan dari pos 4, lewat dari perkiraan sebelumnya. Kami segera membuat bihun rebus ditambah snack berprotein. Awalnya ingin mengambil air, tapi urung dilakukan. Di pos 5 ini terdapat sumber air, namun letaknya 150 meter di sebelah kiri bawah dari tempat kami beristirahat. Saya rasa itu akan amat melelahkan. Lebih baik melanjutkan perjalanan menuju pos 6 untuk selanjutnya bersegera sampai di pos 7, entah jam berapa.
|
Pos 5 - Soloh Tama |
Muka – muka sumringah setelah lahap memakan bihun rebus terlihat ketika saya, Awal dan Nesa me-repacking barang bawaan. Kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Matahari yang berada condong ke barat bersinar tidak terlalu terik. Pohon – pohon melindungi kami dari teriknya sinar mentari. Jalur kali ini sedikit campuran antara tanah merah yang licin dan lumut yang menghiasi. Seperti kata saya sebelumnya, sampai Rante Mario nanti kita akan menemukan banyak macam lumut yang unik. Perlahan pohon besar yang daritadi menutupi biru langit menghilang. Berganti dengan cantigi yang mendominasi. Ketika sampai di sebidang tanah merah dan miring kami tersadar ini adalah pos 6 – MTPL (2690 mdpl). Rupanya seperti pos 3, tidak terlalu besar untuk menampung tenda. Dan tidak dimungkinkan juga. Jarak tempuh dari pos 5 hingga pos 6 ini sekitar 1 jam perjalanan.
|
Jalur menuju Pos 6 |
|
Pos 6 - MTPL |
Ketika biru langit menghiasi cakrawala, cantigi mulai mendominasi kami tak akan melewatkan momen matahari terbenam di pos 7. Oleh karena itu kami tak berlama – lama istirahat di pos 6. Jalur masih menanjak, sesekali hanya berupa jalur bebatuan yang dihinggapi lumut. Tanah lempung mendominasi. Licin. Hiburan kami berupa obrolan ringan membandingkan tanjakan Latimojong dengan tanjakan – tanjakan yang pernah kami lalui. Menurut saya dan Nesa kami sepakat tanjakan penyesalan di Rinjani tidak sesulit ini. Sedangkan Awal berpendapat, Cikuray yang terkenal tanjakan curamnya lebih tidak ada apa-apanya lagi. Ketika Nesa mengatakan Ciremai juga bukan tandingannya, lantas kami mengambil kesimpulan, jika tanjakan gunung di Jawa memang tidak separah ini. memang setiap gunung itu punya karakteristiknya sendiri. Perlahan tapi pasti rimba Latimojong membuka pelukan hangat untuk memberikan kesempatan pada kami melihat luasnya langit. Sambil tetap berjalan mencapai pos 7 dari sini terlihat punggungan gunung hijau royo – royo dari kejauhan. Berlipat – lipat mengumpat seakan tak mau terlihat.
|
menuju pos 7 |
|
lipatan bukit hijau |
|
Nesa mulai sumringah |
Sampai di tempat dimana pohon sudah tidak ada yang menghalangi pandangan. Kami dapat melihat bukit menghijau serta di sebelah kanan saya berupa tanah lapang yang cukup luas. Rerumputan yang menguning entah karena apa, dan terdapat plang kecil bertuliskan pos 7. Yeah.. sekitar jam 18.20 WITA kami sampai di pos 7. Tepat di senja saat matahari kembali keperaduan. Sambutan Kolong Buntu (3100 mdpl) berupa angin kencang dari segala sudut berhembus, sampai membuat mata saya perih tak terkira. Tak ingin mengambil resiko, Awal dan Nesa sepakat untuk menuju mata air. Tepat di sebelah kiri tanah lapang agak menurun. Kami mendirikan tenda berada di sisi sungai dan diapit oleh dua tebing tinggi menjulang. Berharap kami akan terlindung dari ganasnya angin Latimojong, yang konon bisa menerbangkan tenda.
|
sumber air |
|
tebing pelindung |
Malam semakin gelap pekat kami habiskan di tepian sungai. Memasak di dalam tenda untuk mengurangi efek dingin yang terjadi. Menghabiskan malam setelah 12 jam perjalanan menanjak curam dengan sedikit track mendatar kami bercerita tentang perjalanan yang baru saja kami lalui, sambal Anti dan berbagai macam pekerjaan serta kuliah dan rencana mengunjungi Rante Mario esok hari, hingga kami terbuai oleh alunan musik alam berupa gemericik air sungai. Kami terlelap.
Kabut Rante Mario
Pagi – pagi sekali kami terbangun oleh dering alarm Awal yang masih dengan goyangan khas Jakarta. Antara malas bangun karena dingin dan ego untuk menuju Rante Mario. Kami kembali terlelap bersama.
Hari masih gelap terlihat dari dalam tenda, namun jam sudah menunjukkan pukul 7. Memasak di dalam tenda [lagi] untuk menghangatkan diri. Terlihat awan putih dari dalam tenda ketika Nesa mengambil air yang tepat berada di samping tenda. Mungkin itu kabut.
Ketika dari dalam tenda mulai terlihat cerah, kami mencoba untuk keluar namun begitu membuka tenda dan melihat keadaan sekitar, kabut masih saja melayang. Saat itu ada pendaki dari Pare – pare yang rupanya kemarin mereka bermalam di pos 5. Katanya saat itu mereka mendapat badai, kami langsung terhenyak. Karena saat itu kami sedang menuju pos 7. Dengan kata lain badai itu datang bersamaan ketika kami sampai. Pantas saja angin begitu kencang berhembus sore tadi. Setelah berbincang sesaat, kami kembali masuk ke dalam tenda. Dingin. Bukan karena kami tak mau ke Rante Mario saat ini. kami hanya menunggu saat yang tepat untuk berkunjung. Kami mau melihat birunya langit ketika berada di tanah tertinggi Sulawesi.
Pernahkah kamu merasa penasaran? Itu yang saya rasakan saat ini. Berdiam diri di dalam tenda hanya menunggu sampai kabut yang ada di awang – awang menghilang hingga langit menjadi biru. Bosan. Kami memutuskan untuk ke Rante Mario siang ini, jam 13.15 WITA.
|
persiapan menuju Rante Mario |
Asumsinya begini, saat ini adalah musim hujan. Jika kami akan mengunjungi Rante Mario esok hari, belum tentu cuaca akan cerah. Bahkan bisa lebih parah. Sedangkan mobil yang menuju Baraka dari Rante Lemo besok sore adalah mobil terakhir sebelum nantinya 3 hari kemudian ada kembali. Untuk perhitungan waktu kunjungan saja sudah tidak memungkinkan, kami masih punya tujuan lain setelah di Makassar. Selain itu, siang ini cukup cerah, walaupun kabut masih menutupi, tetapi sesekali langit biru masih bisa terlihat. Kami akan segera berangkat.
Kami kembali naik menuju pos 7. Di sana terdapat pendaki Pare – pare yang sedang makan siang di bivak sederhana. Kami berdoa dan melanjutkan perjalanan. Jalur awal sudah tanjakan curam, untungnya tidak terlalu panjang. Selebihnya berupa jalan datar yang sesekali menanjak landai. Dominasi cantigi yang berselimut lumut merah mengawali perjalanan.
Angin bertiup masih sangat kencang dari segala penjuru, kami tiba di persimpangan yang berbatasan dengan telaga kecil. Jika ke kanan menuju puncak Nenemori sedangkan ke kiri menuju puncak Rante Mario. Sayang tidak difoto karena kabut.
|
pohon diselimuti lumut |
Melanjutkan perjalanan, kali ini lebih lapang dan terbuka, angin semakin kencang bertiup. Sesekali saya berlindung di sela – sela rimbun cantigi. Kami melewati bukit – bukit kecil yang semakin lama semakin tinggi. Beberapa kali kami sempat mengira Rante Mario sudah kami gapai, tapi karena triangulasinya belum terlihat kami pupus.
Nesa melangkah semakin cepat sampai ia berteriak “Puncak..” Saya segera menghampiri. Tugu triangulasi yang dicari ternyata terpatok manis di sini, sendiri. Setelah berjalan 1 jam 15 menit kami tiba di tanah tertinggi Sulawesi, Rante Mario. Angin semakin kencang membawa kabut ke atas. Nampak jelas kabut itu berarakan berpindah tempat dari bawah ke atas. Sesekali langit biru tampak di atas, tetapi itu tak bertahan lama. Kami berlindung di samping tiangulasi untuk menghindari angin sampai langit biru terlihat. Saat itu pendaki Pare – pare datang. Mereka terlihat sangat senang, mereka berpose layaknya foto model di Rante Mario. Kegembiraan tak bisa dibohongi.
Saat sedang asik menunggu di samping triangulasi, tiba – tiba gerimis turun dan berganti menjadi hujan deras. Dengan sangat terpaksa kami meninggalkan Rante Mario. Meninggalkan asa langit biru yang entah kapan menggantung di sana.
|
Puncak Rante Mario |
Melewati jalan yang sama ketika menuju Rante Mario, langkah saya percepat. Sempat terpisah ketika saya berbelok ke arah kanan, sedangkan Nesa dan Awal lurus ke depan. Untungnya saya menengok kebelakang dan sempat memberikan kode, kami tidak jadi terpisah. Kabut bercampur hujan benar – benar mengganggu kami. Headlamp yang saya kenakan cukup membantu memecah kabut pekat. Kami teruskan hingga jari – jari ini terasa perih karena dingin yang sangat mengigit. Benar – benar dingin. Hingga kami sampai di pos 7 dan segera menuju tenda. Menghangatkan badan.
Rencana untuk turun gunung sore ini kami batalkan dengan segala konsekuensinya. Hujan kali ini benar – benar mengacaukan rencana yang telah dibuat. Mulai dari Rante Mario hingga rencana menuju Baraka sore ini. sudahlah kami tak mau terlalu pusing. Karena lapar, kami kembali membuat makan siang atau makan sore? Entahlah, yang penting kami kenyang.
Senja Kolong Buntu
Cerah terlihat di barat. Walaupun masih di dalam tenda rasa hangat yang berlebihan membuat kami ingin keluar, melihat apa yang terjadi. Sinar hangat mentari yang kami rindukan hari ini nampak malu – malu bersinar. Kabut di atas kami pun tak mau pergi. Saya memutuskan untuk mencoba naik ke pos 7 daripada bediam diri di dalam tenda. Nesa dan Awal juga ikut. Kami akan mencoba peruntungan di pos 7 nanti.
|
semburat orange dari camp |
Kembali ke pos 7, para pendaki Pare – pare sudah meninggalkan pos ini entah kapan. Saat ini seperti halnya kemarin di ketinggian 3100 mdpl kami hanya bertiga. Tak ada manusia lain di sini. Matahari sedang memainkan perannya sebagaimana mestinya. Saya tersenyum manis melihat awan berarakan menghampiri matahari dan pergi meninggalkannya.
Langit biru yang kami nantikan di Rante Mario ternyata muncul di Kolong Buntu. Di kejauhan terlihat rumah penduduk sangat kecil, kemidian punggungan yang berlipat berwarna hijau. Indah. Garis pantai pun terlihat dari atas sini. Pelangi yang tak diduga muncul sebagai reaksi pembiasan karena baru saja diguyur hujan. Jika kita melihat ke arah barat cerah, terang benderang yang akan terlihat. Namun kamu harus tahu, saat pelangi muncul di arah timur, awan hitam legam pekat ingin memuntahkan isinya berdiam diri di atas sana. Mungkin Rante Mario sedang menunggu kapan tiba waktunya hujan kembali mengguyur.
Kemegahan yang tersaji di Kolong Buntu benar – benar mengobati kekecewaan kami atas kabut yang terjadi di Rante Mario. Kolong Buntu menyajikan atraksi langit yang memukau. Kami semua senang. Alhamdullilah. Setidaknya walau kami tidak dapat melihat matahari terbit seperti ketika berada di gunung – gunung Jawa, kami masih bisa melihat indahnya matahari tebenam di Sulawesi. Indah.
|
kabut tersapu angin kencang |
|
xbandrolx |
|
MME |
|
MRP |
|
surya tenggelam |
|
|
|
|
menatap mentari |
|
pelangi |
|
menatap cakrawala |
|
dengan bantuan batu, akhirnya ada foto keluarga |
Di Kolong Buntu membuat kami lupa akan angin yang berhembus sangat kencang. Dingin yang menusukpun seakan kami lupakan karena melihat arak – arakan dewa langit memainkan perannya. Allah memang baik. Sampai matahari kembali ke peraduan menghilang di batas horizon kami masih setia. Gelap yang muncul membuat kami harus segera kembali ke tenda. Kembali bercerita dan menghabiskan malam yang semakin seram.
Gemericik air di tepian sungai membuat suasana tenang menjadi sangat mistis. Ditambah banyak bunyi – bunyi misterius yang terjadi. Kami tidak tidur semalaman karena takut ada sesuatu, tetapi anehnya kami tidak ada yang bicara. Semua asik dengan pemikirannya masing – masing. Sampai pagi menjelang.
Turun Gunung
Pagi – pagi sekali kami bangun. Lebih tepatnya kami tidak tidur dari semalam karena suasana mistis yang terjadi. Kami bergegas membuat sarapan dan segera menyantapnya. Untuk kemudian membereskan semua barang – barang yang kami bawa.
Naik kembali ke Kolong Buntu, memperhatikan kabut pagi yang perlahan naik menuju Rante Mario. Sampai saat ini Rante Mario masih dirundung kelabu. Perlahan kami meninggalkan Kolong Buntu, jalur yang sempit ditambah curam dan licin membuat saya harus ekstra hati – hati. Tak mau kejadian kemarin lusa terulang. Melewati pos 6 dengan cepat kemudian segera turun menuju pos 5 dengan maksud mengejar rombongan pendaki Pare – pare. Awal sudah jauh melesat di depan. Selama Nesa masih setia di belakang, saya tidak khawatir.
|
pemandangan dari Pos 7 - Kolong Buntu |
|
kabut pagi |
Ketika sampai di pos 5 rupanya pendaki Pare – pare sedang asik mengemasi barang bawaannya. Sampai di sini Awal benar – benar sudah jauh. Saya melanjutkan perjalanan turun kembali. Di sini awal mulanya ketika saya kehabisan tenaga. Turun gunung itu membuat kita lebih lelah karena beban yang dibawa hanya tertumpu pada kedua lutut, beban yang tersangkut di pundak itupun akan merujuk pada lutut. Perlu diketahui, untuk saat ini saya tidak mengalami gagal dengkul seperti di Semeru lalu, saya mengalami kelelahan yang amat sangat. Apalagi ketika saya tidak menemukan pos 4 dan langsung menuju pos 3 untuk istirahat. Saya sudah berkali – kali mengeluh, namun tetap saja tidak bisa berbuat banyak. Selain cara membuang ransel ke bawah jika turunan yang ketika naik menjadi tanjakan amat curam. Itu salah satu cara saya untuk mengurangi keluarnya energi lebih banyak. Sampai terdengar suara gemericik air sungai, yang itu berarti kami mendekati pos 2.
Turun melewati sudut kemiringan hingga 80˚ benar – benar seperti menuruni menara saat dulu pernah mencoba repeling. Sedikit terpelangting saja pasti jatuh. Dengan posisi seperti saat naik, perlahan saya menuruni turunan ini dengan membelakangi jalur. Ini juga salah satu cara untuk mengurangi energi yang terkuras. Nampaknya ketika saya sampai di pos 2 dimana ada sekelompok peneliti tikus hutan yang langka sedang berbincang dengan Awal, glukosa tubuh saya benar – benar dalam jumlah yang memprihatinkan. Saya terkulai lemas.
|
jalur pos 4 menuju pos 5 |
|
jalur pos 2 menuju pos 3 |
|
jalur pos 2 menuju pos 3 |
Saat itu di pos 2 juga banyak sekali anak – anak kecil yang baru saja mengunjungi air terjun. Rupanya aliran air yang tepat berada di samping goa ini terusan dari air terjun di atas sana. Saat itu hanya Nesa dan Awal yang mengunjungi air terjun itu, saya tidur di bivak para peneliti karena kelelahan.
Sekitar satu jam kemudian mereka kembali dengan foto – foto menarik air terjun itu. Tidak terlau besar namun nampaknya sangat segar jika bisa berenang di sana. Saya masih dengan muka lemas mengajak mereka untuk segera menuju Karangan. Menuji dusun itu saya menggunakan sisa – sisa tenaga saya yang diamunisi oleh gula merah pemberian dari Nesa. Tubuh saya sudah tidak menerima coklat. Beberapa mililiter air saya habiskan untuk mencapai dusun itu. Selangkah demi selangkah saya tapaki, Nesa masih di belakang saya untuk menjaga, saya-pun terlewati oleh para pendaki dari Pare – pare. Biarlah yang penting saya bisa selamat sampai di dusun itu.
|
Air Terjun di atas pos 2 |
|
aliran sungai pos 2 |
Ransel saya entah sudah berapa kali terlempar atau sengaja di lempar untuk meringankan beban di pudak. Dari jauh kebun kopi sudah mulai terlihat, itu artinya semakin mendekati pos 1 dan dusun Karangan. Saya mempercepat langkah namun apadaya, sampai di pos 1 saya kembali mengalami kelelahan yang amat sangat. Nesa akan memberikan amunisi gula merah itu ketika sampai di aliran sungai pertama nanti, ketika telah melewati lokasi pembalakan liar. Namun, pendaki Pare – pare memberikan minuman seger yang membantu mengurangi dehidrasi yang saya alami.
Tak mau terlalu lama, karena panas semakin terik, jalan turun menyusuri perkebunan kopi, lokasi pembalakan liar, memutar punggungan dan sampai pada kebun bunga di awal perjalanan. Saat itu rasanya senang sekali. Sebentar lagi akan sampai di Karangan dan istirahat. Sungai yang beraliran deras itu seakan membimbing saya untuk memasuki kompleks rumah panggung dusun Karangan, selanjutnya saya tinggal mencari rumah kepala dusun yang kemarin saya tempati untuk bermalam.
Ketika sampai di rumah kepala dusun, para pendaki Pare – pare nampak masih istirahat. Awal entah dimana keberadaannya, Nesa masih di belakang. Saya segera istirahat di bawah rumah panggung itu ditemani beberapa pendaki dari Pare – pare. Berganti sendal dan siap menuju Rante Lemo. Masih 2 jam perjalanan lagi dari Karangan.
Rute yang kami lewati masih sama seperti kemarin, melewati ladang penduduk, rumah – rumah panggung dan kali ini matahari bersinar sangat terik. Panas dan kering. Senyum tersungging semanis mungkin untuk menutupi kelelahan yang amat sangat siap dilemparkan pada penduduk lokal. Untuk meninggalkan kesan ramah terkadang senyum cara yang paling jitu. Dari jauh terlihat para pendaki Pare – pare sudah asik bermain air di sungai desa Rante Lemo. Cepat – cepat saya melangkah untuk menenangkan pikiran yang frustasi akibat turun gunung tadi. Sampai di Rante Lemo saya segera merendam kaki tepat di pinggiran sungai dan membasahi muka, rambut dan tangan untuk menyegarkan suasana. Saya tidak mau mandi, bisa masuk angin mengingat tidak banyak makanan yang masuk hari ini. Terpejam menikmati suara aliran sungai dan berfikir kenapa turun gunung ini lebih membuat saya frustasi daripada saat manjamahnya dua hari yang lalu? Ah.. sudahlah, mobil menuju Baraka juga sudah beranjak pergi meninggalkan kami. Saya menghabiskan 1 jam buat menenangkan diri, begitupun dengan pendaki yang lain.
Sambil menunggu mobil yang akan menjemput kami malam nanti, setelah menghabiskan waktu di sungai, kami diajak berkunjung ke rumah kepada desa Rante Lemo. Rumah panggung dengan sofa – sofa besar yang empuk, membuat saya tertidur pulas, entah berapa menit. Saat terbangun hari sudah semakin gelap, Nesa dan Awal asik bertukar cerita ketika saya bergabung. Kami membuat makan malam seadanya karena jarak menuju Baraka masih 3 jam lamanya. Mengisi tenaga nampaknya bukan hal yang salah.
Tepat jam 8 malam setelah kami menunggu cukup lama mobil yang akan membawa kami ke Baraka datang. Jalanan gelap membuat saya semakin tegang. Bagaimana tidak, sewaktu terang saja sudah membuat jantung berdegup kencang, apalagi dalam keadaan gelap? Nampaknya memang sopir yang membawa kami benar – benar ahli. Tidak perlu ikut tes SIM di POLDA karena saya jamin pasti lulus. Sempat melewati jalur longsoran. Jalur offroad kering sewaktu berangkat tempo hari, malam ini benar – benar berubah menjadi jalur offroad. Perlu beberapa menit untuk melepaskan ban mobil dari jebakan alam. Setelah itu saya terlelap dan bangun ketika sampai di Baraka.
Kami sempat mengantar para pendaki Pare – pare menuju basecamp. Setelah itu mobil strada yang membawa kami mengantarkan kami tepat di depan warung Anti. Alangkah baiknya mereka, Ibu masih setia menunggu kami di depan warung dan ikut menyambut kedatangan kami. Setelah kami masuk, warung segera tutup. Benar – benar hanya menunggu kedatangan kami. Lebih dari itu kami juga sudah disiapkan makan malam yang nampaknya sudah sejak isya tadi di siapkan. Kami dengan lahap menyantap makan malam yang disediakan, sedangkan Anti dan Ibu mungkin sudah tertidur lelap. Kami tiba jam 11 malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar